Monday, September 22, 2008

Ida Bhujangga Rsi Anom Phalguna


Demi Titah Leluhur Kembali ke Kawitan
Sulit memang, kalau jalan hidup sudah diatur oleh Hyang Widhi, rencana yang sudah matang pun menjadi lain karena melanjutkan titah leluhur. Sebaliknya, kalau ditolak akan banyak masalah akan menimpa keluarga yang silih berganti berdatangan, termasuk ekonomi keluarga menjadi kacau balau. Apa salahnya melanjutkan kepanditan leluhur kalau sudah kehendak Tuhan.

Seperti pepatah mengatakan, setinggi-tingginya burung terbang, atau sejauh-jauhnya burung merantau guna mencari makan, pada akhirnya kembali jua ke sarangnya atau ke tanah kelahirannya. Begitulah kehidupan bagi orang yang merantau di tanah orang. Walaupun rencana matang sudah dilakukan. Tapi, kehendak leluhur atau Hyang Widhi memutuskan lain.

Begitu perjalanan seorang sulinggih dengan bhiseka Ida Bhujangga Rsi Anom Phalguna selama walaka. Awalnya, tutur Ida Rsi dengan nama walaka I Gede Putu Widnyana, S.Sos, tidak akan kembali ke tanah leluhurnya. Guna memantapkan rencana tersebut, demi perkembangan umat Hindu, akhirnya fakta bicara lain. Sulinggih dengan 3 anak ini pun tidak bisa memutuskan secara saklek kehendak apa akan direncakan di Irian. Pasalnya, datang surat dari Pulau Dewata, memberikan ketegasan yang tidak bisa ditolak.

“Pokokne, Bli harus pulang, tidak ada lain selain Bli yang melanjutkan trah leluhur untuk melanjutkan kepanditan di keluarga,” tutur Ida Rsi yang wawasan agamanya cukup luas.

Di satu sisi, rencana untuk membuat merajan, membangun rumah serta tanah untuk itu sudah siap, bahkan sudah akan siap menjadi warga Irian.

Sayangnya, demi titah Ida leluhur, Ida Rsi berprofesi PNS Badan Meteorologi Geofisika di Irian pun tidak bisa menolak untuk came back to campung. “Bagaimana ya, atas surat perintah dari Bali, Ida Rsi tidak bisa berkutik, harus dijalani, kalau tidak masalah akan menjadi lain di dalam keluarga,” kenang Ida Rsi yang mempunyai pikiran Hindu ke depan lebih padat dan lebih konsen dengan SDM berkualitas.

Sejatinya, perjalanan Ida Rsi kelahiran tahun 1 Januari 1958 sudah kenyang makan garam baik secara teori maupun praktek agama. Maka, tidak heran Ida Rsi dengan pendamping setia Ida Bhujangga Rsi Istri Hari Laksmi paham betul makna-makna upakara serta prakteknya. Ida Rsi bertubuh tegap pun sudah pengalaman menjalani kebrahmanan mulai dari menjadi pamangku di berbagai daerah di luar Bali.

Pertama kali, Ida dipercaya menjadi pamangku di Pura Jagatnatha Wira Bhakti, di Biak Irian Jaya tahun 1981 sampai 1994. selanjutnya, di Timor-Timur, juga mendapat kepercayaan mengemban tugas suci di Pura Girinata mulai tahun 1994 sampai tahun 1998. Guna memantapkan kualitas pamangkunya, sulinggih alumni STIA Yapis Irian Jaya ini pun pernah mengikuti penataran pamangku tingkat Nasional angkatan 11 di Unhi Denpasar tahun 1996. Akhirnya pindah ke kawitan (baca kembali ke tanah kelahiran) tahun 1998 serta tahun 2000 menjadi pangabih Ida Rsi Nabe.

Kembali Ida Rsi mendapat tugas mulia dan menjadi pamangku di Pura Jagatnatha Pemkab Jembrana tahun 2000 sampai tahun 2004. Akhirnya tahun 2004 memutuskan madiksa menjadi sulinggih. Kentadi Ida Rsi sudah madeg pandita, tapi masih menjadi PNS aktif, namun status Ida sebagai staf ahli ditempatkan di Dinas Ekbang Sosbud Pemkab Jembrana. Karena tenaga Ida Bhujangga Rsi sangat dibutuhkan guna memberikan berbagai pertimbangan secara moril dan spiritual di dalam membangun Pemkab Jembrana.

Yang sangat penting setelah perjalanan menjadi madeg pandita, Ida Rsi merasakan sekali tugas semakin berat. Kenapa? Karena Ida Rsi tidak mau sekadar malinggih, yang jelas Ida Rsi ingin memberikan pencerahan kepada umat Hindu agar menjadi pemeluk Hindu yang benar-benar paham dengan ajarannya. Tidak hanya menjadi pemeluk Hindu tapi tidak mengerti ajaran Hindu yang sebenarnya, apalagi hanya sibuk dengan upacara, sehingga muncul kesan Hindu itu rumit, biaya upacara mahal dan masalah krusial lainnya.

Kata Ida Bhujangga Rsi, tugas berat ini terus dijalani dengan dasar pilar agama yaitu satya, dharma, prema, shanti, dan ahimsa. Akhirnya dengan pilar pokok ini, segala tugas Ida Bhujangga berjalan dengan baik. Bahkan semakin sibuk mendapat tugas melayani umat dalam arti mulia Asal tahu saja, masih banyak yang harus diceritakan perjalanan Ida Bhujangga Rsi yang satu ini.

Apalagi Ida Rsi mempunyai ide-ide yang sangat cerdas, berwawasan Hindu ke depan agar umat Hindu tidak risau menjadi Hindu. Ketimbang pindah agama, lebih baik Ida Rsi banyak terjun ke kantong-kantong umat yang mengeluh dengan ritual yang rumit, ribet, walaupun sejatinya menjadi umat Hindu tidak serumit yang dibayangkan. Putu Patra
Diposting oleh baliaga
Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Dwi Putra Brahmanda
Sulinggih Rendah Hati Sarat Prestasi

Jalan hidup sulinggih yang satu ini, boleh dikatakan gemilang dalam prestasi, walaupun mengaku minim kualitas pendidika secara formal, dan tidak tamat SD. Tapi pendidikan formal yang tinggi tidak menjamin seseorang menggapai prestasi yang menonjol. Tapi sulinggih asal Buleleng ini ternyata gigih, rajin, tekun sehingga patut menjadi sosok teladan bahkan menjadi seorang guru dari orang yang bertitel. Berikut kisah Ida Pandita

Pendidikan formal yang minim, tak sepenuhnya menjadi kendala untuk memacu dan mengembangkan potensi diri. Seperti halnya Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Dwi Putra Brahmanda. Walaupun hanya sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar, itupun tidak sampai tamat. Selain dikenal ahli menulis lontar, juga dikenal sebagai dukun usadha. Berbagai prestasi gemilang berupa piagam penghargaan pernah diraihnya, Apa yang menjadikan Ida Pandita Nabe mampu mengukir berbagai prestasi itu? Inilah hasil penelusuran wartawan TBA.

Saat wartawan Bali Aga bertandang ke griya yang berlokasi di Banjar Wiguna, Desa Pelapuan, Busungbiu, Buleleng, nampak pria paruh baya sedang serius dengan aktivitasnya. Di setiap sudut dihiasi pot bunga berbagai jenis dan ukuran, sehingga mampu mempercantik griyanya.

Suara kicauan beberapa jenis burung yang tergantung rapi, menambah suasana semakin nyaman, sehingga rasanya ingin berlama-lama berada di sini. Mengetahui kami datang, serta merta Ida Pandita Mpu Nabe menghentikan aktivitasnya. Dengan senyum dan gaya bicaranya yang khas, Ida Pandita mulai bercerita.

“Tiang terlahir dari keluarga petani dengan ekonomi yang serba pas-pasan. Karenanya, tiang hanya sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar dan itupun nungkak (tidak sampai tamat-red),” ujarnya seraya menunjukkan foto-foto kenangannya saat walaka.

Latar belakang pendidikan yang sangat rendah, tak membuat sosok Ida Pandita Nabe minder, bahkan membuat harapannya pupus untuk belajar. Melainkan membuat semangatnya semakin berapi-api dan lebih giat menempa diri. “Walaupun hanya sempat mengenyam pendidikan Sekolah Dasar, tak membuat tiang minder, namun memacu semangat lebih tekun belajar. Bahkan, sambil bekerja tiang sempatkan membawa buku, dan merapal apa yang sebelumnya tiang dapatkan,”jelas Ida Pandita Mapu Nabe dengan nada datar.

Berbekal pendidikan yang sangat minim, ternyata tak menjadi kendala bagi Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Dwi Putra Brahmanda yang bernama walaka I Wayan Nastra, untuk menggali dan mengembangkan potensi dalam dirinya. Berbekal pendidikan Sekolah Dasar dan itupun tidak sampai tamat, Ida Pandita Mpu Nabe, dengan semangat dan dedikasi tinggi terus berusaha menggali dan mengembangkn potensi yang dimiliki. Semangat, dan kerja keras, selama ini, ternyata tidak sia-sia. Berbagai piagam pernah diraihnya, baik dari pemerintah daerah hingga dari presiden Republik Indonesia di bidang Keluarga Berencana dan penghargaan lainnya.

Bahkan, tak sedikit yang bertitel sarjana belajar kepadanya. Ida Pandita Nabe juga sempat diekspos salah satu media, tentang keahliannya dalam menulis lontar. Semangat dan kerja kerasnya patut diacungi jempol serta dijadikan contoh. Semua itu tak lepas dari peran orang tuanya yang seorang guru yoga, serta penulis lontar cukup tersohor dan banyak memiliki murid.

“Ketegasan dan kedisiplinan orangtua, tiang jadikan pemacu lebih giat belajar. Berbagai ilmu tiang pelajari termasuk membaca dan menulis lontar. Banyak lontar telah tiang salin ke hurup latin. Bahkan, banyak yang belajar bahasa Bali di sini,” jelas suami I Nengah Sukanami yang kini mabisekha Ida Pandita Mpu Istri Nabe Daksa Dwi Putra Brahmanda serius.

Di samping itu, Ida Pandita yang dikenal ramah ini, juga memiliki kartu anggota pedalangan PDSI (Persatuan Dalang Seluruh Indonesia). Sepak terjang dan semangatnya itu, sering dijadikan panutan atau contoh masyarakat sekitar dan krama luar yang sering tangkil ke griya. Ida Pandita Mpu Nabe juga sering dimohon membuat awig-awig desa dalam bentuk lontar berbahasa Bali, dan menyalin lontar ke dalam bahasa latin.

Setelah orangtuanya meninggal, kemudian Ida Pandita Nabe harus meneruskan semua profesi ayahnya yang seorang guru yoga, balian usadha, dan pemangku. Beliau sering muput upacara Panca Yadnya. Maklum saat itu sulinggih sangat sedikit.

“Setelah orangtua meninggal, banyak krama datang dengan berbagai tujuan, dan sempat mengelak. Karena merasa tidak memiliki kemampuan dalam bidang itu. Namun akhirnya tiang sadar bahwa tugas tersebut harus dipikul dan dijalankan,” tegasnya.

Lebih lanjut ayah lima orang putra ini mengatakan, setelah dijalani, rasa khawatir itu sirna dan semua berjalan seperti air. Berbekal keyakinan dan keberanian, orang yang ditolong banyak yang sembuh, padahal hanya menggunakan Gayatari Mantra.

Guna meningkatkan pengetahuannya Ida Pandita memutuskan aguron-guron, (belajar-red) tepatnya di Griya Penarukan, Buleleng. Yang saat itu digembleng oleh Ida Pandita Mpu Nabe Dwi Tantra (almr), mulai dari tingkat Jro Mangku, Jro Gede, dan Jro Bawati.

Niatnya malinggih selalu gagal. Salah satu kendalanya, melihat kemampuan yang dimiliki, gurunya berkeinginan menjadikan Ida Pandita menjadi seorang Dalang Brahmana. Karena saking baktinya, permintaan itu pun dijalankannya dan berhasil dengan baik. Belum selesai tugas itu, ternyata Tuhan berkehendak lain dan Sang Nabe keburu dipanggil (amor ring acintya). Kemudian setelah Ida Pandita Mpu Nabe Sinuhun dari Griya Agung Bongkasa Badung, mengetahui kemampuannya, mendesak agar segera melinggih. Akhirnya pada tahun 2001, Ida Pandita membulatkan tekad melinggih dan ditapak oleh Ida Pandita Mpu Nabe Istri Made didampingi Ida Pandita Mpu Nabe Sinuhun. Dengan Bhiseka Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Dwi Putra Brahmanda.

Setelah melinggih, Ida Pandita tetap melaksanakan profesi sebagai dalang, penulis lontar dan ngemargiang tetambaan. Ida Pandita merupakan satu-satunya Dalang Brahmana di Buleleng. Namun demikian, Ida Pandita selalu melewatkan sisa hidupnya dengan penuh kesederhanaan. Andiawan
Diposting oleh baliaga
Ida Pandita Mpu Sadi Angga Yoga

Madiksa atas Kehendak Niskala

Kalau boleh ditolak, mungkin sudah lain ceritanya. Tapi perjalanan Pandita dari Kerambitan ini malah tak kuasa menolak kehendak niskala. Terbukti, berbagai penderitaan datang silih berganti. Akhirnya datang juga amanat dari nabe untuk segera madiksa.
Tidak semua orang mau begitu saja menjadi sulinggih atau menyucikan diri dengan jalan madiksa. Terkadang kalau mau ditolak, bisa jadi Pandita Mpu yang satu ini tidak akan menyandang predikat sang wiku. Inilah perjalanan panjang I Wayan Ada sebuah nama sederhana tapi penuh makna ketika masih walaka.

Sekarang, nama walaka sudah dilepas setelah ditapak oleh seorang nabe dari Griya Agung Klaci, Marga, Tabanan mabhiseka Pandita Mpu Daksa Samyoga. Semenjak tahun 2001, setelah digelar pawintenan trijati, sulinggih berpenampilan sederhana menyandang bhiseka Ida Pandita Mpu Sadi Angga Yoga. Lalu, bagaimana kisah perjalanan sulinggih yang mengaku sebagai petani selama walaka? Berikut kisahnya di dalam obrolan santai dengan BALI AGA di Griya Sading, Banjar Kukuh Kangin, Kerambitan, Tabanan.

“Tiang wantah pengalaman wit saking pamangku, dumun tiang petani. Sakewala, tan wenten kleteg jagi malinggih,” kata Pandita Mpu mengawali ceritanya. Dikatakan Pandita yang lama menjadi pamangku ini, memang menurut sastra setiap orang wajib menyucikan diri. Tapi, yang namanya wiku tidaklah gampang disandangnya. Perlu kesiapan lahir dan bathin. Apalagi Pandita Mpu satu putri ini mengaku tidak ada niat apalagi pengalaman kurang.

“Begitu juga pergaulan, sejak awal hanya sebagai pamangku di Pura Siwa Sading sejak tahun 1973. Hanya ini bekal satu-satunya untuk bisa menjadi sulinggih, ditambah tugas untuk muput pitra yadnya,” urai Pandita dengan penampilan lugu. Begitu juga perjalanan muput yadnya dijalani mulai tahun 1978, selanjutnya mawinten Jro Gede pada tahun 1993 sampai tahun 2001.

Tetapi, tandas Pandita yang mengaku pernah bekerja di Beringkit sebagai penjaga selama satu tahun, justru ada keanehan selama mencari nabe. Di dalam mencari nabe, banyak kendala. Awalnya, tutur sulinggih tamatan SR ini, ingin bernabe kepada seorang soroh ida bagus. Anehnya, selalu gagal. Setiap ida bagus yang dijadikan nabe (guru kerohanian-red) selalu meninggal. Perjalanan bernabe ini cukup lama.

Dengan kendala ini, diputuskan mencari nabe dari pasek saja,. akhirnya diambil keputusan kleteg kayun (keneh) ke Griya Agung Klaci ring Ida Pandita Mpu Daksa Samyoga.

“Yan tan iwang baan tiang narka, wenten matemu ring nabe salami seket (50 kali). Akhirnya Nabe memberikan keputusan untuk madiksa saja,” kenang sulinggih bertubuh mungil ini dengan santun. Saat itulah Pandita Mpu yang istrinya Ida Pandita Mpu IstriTirta lebar tahun 2006, ada niat untuk menolak. Tawaran ini diberi waktu selama tiga tahun.

Hanya saja, tutur Pandita Mpu yang tinggal di Griya Sading, Kukuh, Kerambitan, Tabanan ini, niat untuk menolak ini tidak bisa berjalan mulus. Ada saja sandungan yang menimpa diri Pandita. Termasuk di keluarga tidak sesuai dengan harapan. bahkan, Pandita sendiri merasakan hal-hal di luar logika.

“Tiang sering sungkan tan keni antuk, punapi mawinan. Kadirasa tan anut ring pangrasa, jeg sungkane tan pegat-pegat,” cerita Pandita dengan logat bahasa Bali kentalnya.

Pandita Mpu kelahiran tahun 1941 bercerita panjang kenapa mau malinggih sebagai madeg pandita. Perjalanan menjadi sulinggih pertama kaadegan sebagai pamangku, alasan lain karena beberapa kali kesakitan, kalau tidak salah sebanyak 4 kali. Jatuh karena kaseleo, sakit aneh beberapa kali dicarikan mantri kesehatan tak pernah sembuh. Akhirnya dicari jalan lain, dan sempat maluasan.

Semenjak malinggih, suasana di griya sedikit tenang. Selama malinggih, ada saja umat datang ke griya dengan berbagai tujuan. Ada yang nunas tirta, menanyakan dewasa ayu tentang upacara dan tujuan lainnya seperti mohon tuntunan malukat. Selama Pandita Istri masih ada, suasana griya menjadi hidup, karena sering ada aktivitas membuat banten berbagai upacara atas permohonan umat.
Di akhir obrolan santai dengan awak BALI AGA, dikatakan Pandita, umat yang tangkil bukan hanya dari sekitar griya saja, namun banyak penangkilan dari luar desanya. Bahkan umat dari jauh juga ada saja yang tangkil menanyakan masalah yadnya. Ayu Ratna
Diposting oleh baliaga
Ida Pandita Mpu Wiswa Rupa Bhiru Dhaksa
Sesungguhnya pendeta adalah pelayan umat yang tidak harus disanjung dan disembah. Sulinggih memiliki sifat seperti pasir yang menyerap air, apakah air tersebut kotor atau bersih, semuanya terserap. Namun pada akhirnya yang akan keluar adalah air yang bersih saja. Itulah inti seorang sulinggih yang bisa menyerap ilmu apapun, dan kemudian dipilah-pilah dan hanya yang baik yang dipakai. Kedatangan TBA menyasar daerah Buduk, sampailah di depan sebuah rumah yang bertuliskan Griya Agung Adhika Sari. Inilah Griya Ida Pandita Mpu Wiswa Rupa Bhiru Dhaksa dengan nama walaka I Gede Biakta.Pertama masuk terlihat suasana ramai di mana ibu-ibu sibuk dengan kegiatannya membuat banten. Sambutan hangat menyertai, dan kedatangan itu tepat dengan surya sewana yang merupakan rutinitas seorang sulinggih di pagi hari. Sambil menunggu sejenak di saren kajaterdengar suara burung menambah heningnya suasana griya. Tumpukan buku-buku di samping tempat duduk seakan menceritakan bahwa Ida Pandita gemar membaca.

Selang beberapa lama puja Ida Pandita usai dan terjadilah perbincangan parindikan Ida Pandita.

Masa kecilnya dijalani seperti biasa layaknya anak kecil pada umumnya. Masa sekolah menjadi masa menuntut ilmu baginya di mana kegemarannya dalam bidang bangunan mengantarkannya bersekolah di STM Bangunan Negeri Denpasar. Setelah menamatkan pendidikan, pekerjaan pun diraih.

“Sambil bekerja sekitar tahun 1976 tiang menjadi pragina yang belajar secara otodidak. Di sini memang keturunan pragina. Kemudian berkembang tahun 1987 mulai menjadi dalang. Dari dalang inilah kemudian meningkat nopeng,” jelas Ida Pandita.

Barulah tahun 2002 keinginannya untuk mendalami ajaran spiritual tumbuh dengan sendirinya. Kemudian berlanjut munggah menjadi bhawati tahun 2005. Semua dijalani secara bertahap hingga munggah menjadi Sri Empu pada bulan April 2006 bertepatan dengan Purnama Kadasa.

“Kita sadar dengan ajaran Catur Asrama, selama hidup menjadi yogi bagaimana caranya supaya dalam hidup menjalankan ajaran agama. Dengan malinggih merupakan penebusan dosa, dengan penyucian diri setiap hari. Selain itu dapat meningkatkan pengetahuan, sebab ada ilmu yang tidak bisa dipelajari sebelum malinggih di sana. Dan yang paling penting adalah mengabdikan diri pada umat dengan memberikan pelayanan dalam bidang spiritual,” ungkapnya.

Menurutnya, sesungguhnya pendeta adalah pelayan umat yang tidak harus disanjung dan disembah. Sulinggih memiliki sifat seperti pasir yang menyerap air, apakah air tersebut kotor atau bersih, semuanya diserap. Namun pada akhirnya yang akan keluar adalah air yang bersih saja. Itulah inti seorang sulinggih yang bisa menyerap ilmu apapaun, dan kemudian dipilah-pilah dan dipakai yang baik. (sadnyari). . . …………………Baca Edisi 32
Diposting oleh baliaga
Ida Peranda Gde Made Pengiasan

“Sebelum melinggih, tiang bergabung di Angkatan Laut. Selama menjalankan tugas, manis pahitnya kehidupan pernah tiang rasakan. Terutama saat bertugas di daerah konflik. Antara hidup dan mati, tak ada jurang pemisah tiang rasakan,” ujar ayah lima orang putri ini, mengaku bergabung di Angkatan Laut sejak tahun 1966.

Pedanda yang dikenal ramah ini lebih lanjut mengatakan, banyak hikmah yang bisa didapat selama bergabung di Angkatan Laut. Selain banyak pengalaman, juga dididik selalu berjalan di atas keberanian serta selalu disiplin baik waktu maupun hal-hal lain dalam berbagai hal. Cara itu kemudian diterapkan untuk mendidik anak-anaknya. Dengan cara itu, lanjut Ida Peranda, kini anak-anaknya mampu berdiri sendiri dan sukses.

“Tiang tidak bisa membekali anak-anak dengan harta benda, tetapi hanya ilmu yang bisa tiang bekali. Syukurlah sebelum pensiun, anak-anak berhasil menyelesaikan pendidikan di universitas, sehingga memiliki bekal untuk mencari kerja,” jelas Peranda didampingi Ida Peranda Istri Agung Rai yang saat walaka bernama Anak Agung Rai Murtini. Kesejahteraan anggota TNI pada waktu itu tidak seperti sekarang. Semua hidup dengan ekonomi serba pas-pasan, gaji hanya cukup 15 hari. Sehingga tak jarang gali lubang tutup lubang. Beruntung istri pintar mengatur, sehingga anak-anak bisa mengenyam pendidikan sampai di perguruan tinggi.

Lebih lanjut Ida Peranda mengungkapkan, selama bertugas tak pernah tergiur mengambil pekerjaan yang bertentangan dengan ajaran agama. Melainkan Peranda sering membantu orang-orang yang sedang kesusahan dengan tulus, tanpa pernah mengharapkan imbalan. Mungkin karena sering membantu dengan tulus-ikhlas, Peranda mengaku sering mendapat rezeki tak terduga, terutama pada saat membutuhkan.

“Karakter tiang memang keras dan tegas. Namun semua itu demi kebaikan dan kemajuan, sehingga selalu siap menghadapi berbagai pantangan dan tantangn hidup. Karakter tersebut tak lepas dari gemblengan selama bergabung di Angkatan Laut.,” kata Peranda berbadan agak subur ini menegaskan.

Kemudian tekad kerasnya ingin mengikuti jejak leluhurnya menjadi seorang sulinggih, permohonan untuk pensiun sempat ditolak hingga tiga kali oleh atasannya. Kemuduan setelah pensiun Peranda mulai melakukan pembelajaran di bidang agama, kepemangkuan, upacara dan lainnya dengan menjadi pengiring Ida Gde Ngurah, di Griya Ujung, Kesiman, Denpasar.

Dalam kurun waktu 11 tahun itu, selain menjadi pengiring juga sering mengikuti pelatihan kepemangkuan dan bebantenan. Selain itu, untuk mendukung profesinya Peranda mengoleksi berbagai macam buku dan lontar yang berkaitan dengan peningkatan pengetahuan keagamaan serta bebantenan.

Merasa sudah siap malinggih, akhirnya Peranda dengan segala kemampuan yang ada memutuskan malinggih pada tanggal 4 Agustus 2005. “Saat itu tiang disport dan didukung oleh Puri Agung Pemecutan, sehingga setiap ada kegiatan tiang selalu ngayah di Puri,” ujar Peranda dengan nada datar.

Dikutip Dari : Bali Age

No comments:

 Kutanights life