tag:blogger.com,1999:blog-15350220426092339812024-03-13T14:44:28.644-07:00Bhujangga WaisnawaBhujangga Waisnawa merupakan salah satu golongan yang ada di bali, yaitu Siwa, Budha dan Bhujangga.Keluarga Besar Bhujangga Waisnawahttp://www.blogger.com/profile/10952693366980852246noreply@blogger.comBlogger14125tag:blogger.com,1999:blog-1535022042609233981.post-41903459200375088032009-03-11T02:41:00.000-07:002009-03-11T02:42:14.233-07:00Aneka MamtramAneka Mantram<br /><br />Doa / Mantra Sehari-hari<br />Pada waktu bangun pagi: Om, Utedanim bhagavantah syamota prapitva uta madhye ahnam, utodinau madhvantan tsuryasya vayam devanam sumantausyama.(Atharva Veda III.16.4) "Ya Tuhan Yang Maha Pemurah! Jadikanlah kami selalu bernasib baik pada pagi hari ini, menjelang tengah hari, apalagi matahari tepat di tengah-tengah dan seterusnya. Semoga para Dewa berkenaan menganugharkan rakhmat-Nya kepada kami".<br />Menggosok gigi Om Cri Dewi Bhatrimsa Yogini namah Om, sujud pada (sakti-Mu) Cri Dewi Bhatrimsa (dan) Yogini.<br />Membersihkan mulut: Om Um Phat astraya namah. Om, sujud kepada Um, astra Phat (itu).<br />Mencuci muka: Om Um Waktra Paricuddha mam swaha. Om, Om (dewi) membersihkan muka hamba.<br />Pada waktu mandi: Om, Gangga-Amrta-Sarira Cuddha Mam Swaha. Om, Amrta dari Gangga, membuat badan hamba suci.<br />Pada waktu berpakaian: Kaupina Brahma-Samyuktah, mekhala Wisnu-Samsmrtah Antarwasewaro dewah, bandham astu Sada Ciwa. Penutup berpakaian adalah Brahma, pengikat pinggang (adalah) Wisnu, penutup tubuh (oleh) Iswara (dan) Sada Ciwa pengikat semuanya.<br />Pada waktu makan:<br />1) Menjelang makan: Om Hiranyagarbhah samavartatagre bhutasya jatah patikreka asit, sa dadhara prithivim dyam utema kasmai devaya havisa vidhema. Ya Tuhan Yang Maha Pengasih! Engkau asal alam semesta dan satu-satunya kekuatan awal, Engkau yang memelihara semua mahluk, seluruh bumi dan langit. Kami memuja Engkau.<br />2) Sesudah makan: Om Purnamadah purnamidam Purnat murnam adaya purnasya purnam adaya purnam evavasisyate. Ya Tuhan Yang Maha Sempurna! Yang membuat alam sempurna. Alam ini akan lenyap dalam kesempurnaanMu. Engkau adalah kekal. Kami mendapat makanan yang cukup dan atas anugrah-Mu kami menghaturkan terima kasih.<br />Sebelum memulai pekerjaan atau kegiatan: Om Avighnam astu namasiddham. Ya Tuhan semoga tiada halngan dan berhasil.<br />Mohon perlindungan: Om Apasyam gopam anipadyamanam a ca para ca prthibhih carantam sa sadhricih sa visucir vasana. Ya Tuhan! hamba memandang Engkau Maha Pelindung, yang terus bergerak tanpa berhenti, maju dan mundur di atas bumi. Ia yang mengenakan hiasan yang serba meriah, muncul dan mengembara terus bersama bumi ini.<br />Mohon kebenaran (jalan yang benar): Om A visvadevam satpatim suktai adya vrnimahe stayasavam sawitaram. Ya Tuhan Yang Maha Agung! dengan kidung kami memujaMu, Tuhan sumber kebaikan! Engkau Maha Cemerlang yang memiliki takdir yang maha benar.<br />Salam Penganjali<br />(salam penghormatan) : Om Svastyastu. Semoga selalu ada dalam keadaan baik (selamat) atas karunia Tuhan (Hyang Widhi Wasa).<br />Salam Penganjali<br />(salam penghormatan) : Om santhi, Santhi, Santhi, Om. Semoga damai, damai di dunia, damai di akhirat dan damai selalu.<br />Doa Menjelang makan Om Ang kang kasol kaya isana ya namah, svasti-svasti sarva deva bhuta sukha, pradhana purusa sang yoga ya namah. Ya Hyang Widhi, yang bergelar Isana, hamba persembahkan seluruh makanan ini kehadapan-Mu, semoga semua makhluk berbahagia.<br />Doa Mulai Makan Om Anugraha Amertadi sanjivani ya namah svaha. Ya Hyang Widhi, semoga makanan ini menjadi penghidupan hamba lahir bathin yang suci.<br />Doa Selesai Makan Om Dhirgayur astu, avighnam astu subham astu Om Sriyam bhavantu, purnam bhavantu, ksama sampurna ya namah svaha. Ya Hyang Widhi, semoga makanan yang telah masuk ke dalam badan hamba memberi kekuatan, keselamatan, panjang umur dan tak kena halngan apapun. Demikian pula agar hamba mendapatkan kebahagiaan dan suka cita dengan sempurna.<br />Doa Selesai Makan<br />Dapat pula menggunakan doa (mantra) berikut: Om Annapate annasya no dehyanmi vasya susminah, pra-pra dataram taris urjam no dhehi dvipade catuspade.<br />(Yajur Veda XI.83) Ya Hyang Widhi, Engkau penguasa makanan, anugrahkanlah makanan ini memberikan kekuatan, menjauhkan dari penyakit. Selanjutnya bimbinglah kami, anugrahkanlah kekuatan kepada mahluk berkaki empat dan dua.<br />Doa saat melakukan Yadnya Sesa (Ngejot) : "Om Sarva bhuta sukha pretebhyah svaha". Ya Hyang Widhi, hamba berikan sedikit kepada sarwa bhuta agar tidak mengacau.<br />Doa Memulai Sesuatu Kegiatan: Om Avighnam astu namo sidham Om Sidhirastu tad astu astu svaha. Ya Hyang Widhi, semoga atas perkenan-Mu tiada suatu halangan bagi kami memulai pekerjaan (kegiatan) ini dan semoga sukses.<br />Doa Mohon Inspirasi : Om Pra no devi sarasvati vajebhir vajinivati dhinam avinyavantu.<br />(Rg Veda VI.61.4) Ya Hyang Widhi, Hyang Saraswati Yang Maha Agung dan Kuasa, Engkau sebagai sumber ilmu pengetahuan, semoga Engkau memelihara kecerdasan kami.<br />Doa Memohon Kesehatan : Om Vata a vatu bhesajam sambhu majobhu no hrde, pra na ayumsi tarisat.<br />(Rg Veda X.1986.1) Ya hyang Widhi, semoga Wayu menghembuskan angin sejuk-Nya kepada kami. Wayu yang memberikan kesehatan dan kesejahteraan kepada kami. Semoga Ia memberikan umur panjang kepada kami.<br />Doa Mohon Bimbingan Spiritual : Om Asato ma sadgamaya tamasoma ma tyotir gamaya mrtor ma amrtam gamaya.<br />(Brh. Ar. Up. XL.15) Ya Hyang Widhi, bimbinglah kami dari yang tidak benar menuju yang benar. Bimbinglah kami dari kegelapan pikiran menuju cahaya (pengetahuan) yang terang. Bimbinglah kami dari kematian menuju kehidupan yang abadi.<br />Doa Mohon Kebahagiaan dan Keberuntungan : Om sarve bhavantu sukhinah sarve santu niramayah sarve bhadrani pasyantu ma kascid duhkha bhag bhavet Ya Hyang Widhi, semoga semuanya memperoleh kebahagiaan, semoga semuanya terbebas dari penderitaan, semoga semuanya dapat memperoleh keberuntungan, semoga tiada kedukaan.<br />Doa Memulai Belajar : Om Agne naya supatha raye asman visvani deva vayunani vidvan, yuyodhyasmaj juhuranam eno bhuyistam te namauktim vidhema.<br />(Rg Veda I.189.1) Ya Hyang Widhi (Hyang Agni), tunjukkanlah kepada kami jalan yang benar untuk mencapai kesejahteraan; Hyang Widhi yang mengetahui semua kewajiban, lenyapkanlah dosa kami yang menyengsarakan kami. kami memuja Engkau.<br />Doa Menghilangkan Rasa Takut : Om Om Jaya jivad sarira raksan dadasi me, Om Mjum sah vaosat mrityun jaya namah svaha. Ya Hyang Widhi Yang Maha Jaya, yang mengatasi segala kematian, kami memuja-Mu. Lindungilah kami dari mara bahaya.<br />Doa Selesai Melakukan Kegiatan: Om Deva suksma parama acintya ya namah svaha sarva karya prasidhantam. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om. Ya Hyang Widhi dalam wujud Parama Acintya yang maha gaib dan maka karya, atas rakhmat-Mu maka pekerjaan ini sukses. Semoga damai selalu.<br />Doa Sebelum Tidur: Om Yajjagrato duram udaiti daivam tad u suptasya tatha iva iti, durangamam jyotisam jyotir ekam tanme manah siva samkalpam astu.<br />(Yajur Veda XXXIV.1) Ya hyang Widhi, Engkau nampak jauh dari orang yang tidur, nampak jauh dari orang yang terjaga. Engkau sinar utama, yang nampak jauh itu, semoga pikiran kami senantiasa mengarah kepada Engkau, yang baik itu.<br />Doa Untuk Ketabahan Hidup: Om Krdhi na udhvarny carathaya jivase. Ya Hyang Widhi, semoga kami bisa tetap tegak dalam perjalanan hidup kami.<br />Doa Untuk Orang Meninggal<br />(yang disampaikan/diucapkan saat bela sungkawa): Om vayur anilam amrtam athedam bhasmantam sariram Om krato smara, klie smara, krtam smara.<br />(Yajur Veda XL.15) Ya Hyang Widhi, Penguasa hidup, pada saat kematian ini semoga ia mengingat wijaksana suci Om, semoga ia mengingat Engkau Yang Maha Kuasa dan kekal abadi. Ingat pula kepada karmanya. Semoga ia mengetahui bahwa Atma adalah abadi dan badan ini akhirnya hancur menjadi abu.<br />Dapat pula menggunakan doa (mantram ) berikut ini:<br /><br />a. Saat melihat atau mendengar orang meninggal: Om svargantu, moksantu, sunyantu, murcantu, Om ksama sampurna ya namah svaha. Ya Hyang Widhi, semogalah arwah almarhum mencapai sorga, manunggal dengan-Mu, mencapai keheningan tanpa suka-duka. Ampunilah ia, semoga sempurna atas Kemahakuasaan-Mu.<br />b. Saat mengunjungi orang sakit: Om sarva vighna sarva klesa, sarva lara roga vinasa ya namah. Ya Hyang Widhi, semoga segala halangan, segala penyakit, segala penderitaan dan gangguan binasa oleh-Mu.<br />Doa Untuk Pembukaan Rapat (sidang) atau Seminar: Om sam gacchadhvam sam vadadhvam sam vo manamsi janatam, devo bhagam yatha purve samjanana upasate.<br />(Rg. Veda X.191.2) samano mantrah samitih samani samanam manah saha cittam esam, samanam mantram abhi mantraye vah samanena vo havisa juhomi.<br />(Rg Veda X.191.3)<br /><br />samani va akutih samana hrdayani vah samanam astu vo mano yatha vah susahasati.<br />(Rg Veda X.191.4) Ya Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), semogalah pertemuan dan rapat ini mencapai satu kesepakatan. Semoga tercapai tujuan bersama, kesepakatan bersama satu dalam pikiran menuju stau tujuan.<br /><br />Ya Hyang Widhi, Engkau canangkan satu tujuan, tujuan bersama kami sekalian, kami adakan pemujaan dengan persembahan bersama, agar tujuan kami satu, seia dan sekata.<br />Doa Untuk Menutup Suatu Pertemuan: Om dyauh santir antariksam santih prthiva santir apah santir osadhayah santih vanaspatayah santir visve devah santir brahma santih sarvam santih santir eva santih sa ma santir edhi.<br />(Yayur Veda XXXVI.17) Ya Hyang Widhi Yang Maha Kuasa, anugrahkanlah kedamaian di langit, damai di angkasa, damai di bumi, damai di air, damai pada tumbuh-tumbuhan, damai pada pepohonan, damai bagi para Dewata, damailah Brahma, damailah alam semesta, semogalah kedamaian senantiasa datang pada kami.<br /><br />Jnana Punia Semeton Nyoman Gede Suyasa (Bali Camp)<br /><br /> <br /><br />© Yayasan Bali Galang 2000 - 2003. All rights reserved.Keluarga Besar Bhujangga Waisnawahttp://www.blogger.com/profile/10952693366980852246noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1535022042609233981.post-77406973796853596232009-01-12T04:01:00.000-08:002009-01-12T04:02:37.871-08:00Sri WisnuDalam ajaran agama Hindu, <b>Wisnu</b> (<span class="mw-redirect">Dewanagari</span>: विष्णु ; <i>Viṣṇu</i>) (disebut juga <b>Sri Wisnu</b> atau <b>Nārāyana</b>) adalah Dewa yang bergelar sebagai "<i>shtiti</i>" (pemelihara) yang bertugas memelihara dan melindungi segala ciptaan Brahman. Dalam filsafat Hindu Waisnawa, Ia dipandang sebagai roh suci dan Dewa yang tertinggi. Dalam filsafat Advaita Vedanta dan tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu dipandang sebagai salah satu manifestasi Brahman dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri yang menyaingi atau sederajat dengan Brahman.Keluarga Besar Bhujangga Waisnawahttp://www.blogger.com/profile/10952693366980852246noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1535022042609233981.post-21597097426059679682008-12-31T22:28:00.000-08:002008-12-31T22:30:49.160-08:00Urain Singkat Tentang Bhujangga Waisnawa<b>Waisnawa</b> merupakan aliran dalam <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hindu" title="Hindu" class="mw-redirect">Hindu</a>, yang dalam proses pemujaannya lebih menitik beratkan pada pemujaan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Wisnu" title="Wisnu">Wisnu</a> (beserta <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Awatara" title="Awatara">awataranya</a>) sebagai dewa tertinggi. Waisnawa merupakan keyakinan dan ajaran yang juga memiliki pelaksanaan kewajiban bagi penganutnya (dalam Hindu disebut dengan <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Bakti_Yoga&action=edit&redlink=1" class="new" title="Bakti Yoga (belum dibuat)">Bakti Yoga</a>), yang mana kesemua ajaran tersebut didasarkan pada <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Veda" title="Veda" class="mw-redirect">Veda</a> dan susastra <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Purana" title="Purana">Purana</a> seperti <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Bhagavad_Gita" title="Bhagavad Gita" class="mw-redirect">Bhagavad Gita</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Isha_Upanishad&action=edit&redlink=1" class="new" title="Isha Upanishad (belum dibuat)">Isha Upanishad</a>, serta <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Wisnu_Purana&action=edit&redlink=1" class="new" title="Wisnu Purana (belum dibuat)">Wisnu Purana</a> dan <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Bhagavata_Purana&action=edit&redlink=1" class="new" title="Bhagavata Purana (belum dibuat)">Bhagavata Purana</a>.<br /><br /><div style="text-align: center;"><img src="http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/a0/Avatars.jpg/300px-Avatars.jpg" /><br />Sepuluh awatara <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Batara_Wisnu" title="Batara Wisnu" class="mw-redirect">Batara Wisnu</a><br /></div><br />Dikutip Dari <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Waisnawa">Wiki</a>Keluarga Besar Bhujangga Waisnawahttp://www.blogger.com/profile/10952693366980852246noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1535022042609233981.post-31826867475825751962008-09-22T07:08:00.000-07:002008-10-20T02:19:55.145-07:00Ida Bhujangga Rsi Anom Phalguna<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjG5KvJD0bhyphenhyphendLRT3wsRougMw6Mk1YDFBoJ0tFm4pAQQv6RoNv0mxxciCF2G7EGAeVijlURJ8Ho8sKZHC-QlixbbGz_qyoIHgD88J85ELY0vv-3n2L7wyakMU-YGbYZL7LPEam6YWdEopo/s1600-h/Ida+Rsi+Anom.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5248848972929086034" style="FLOAT: left; MARGIN: 0pt 10px 10px 0pt; CURSOR: pointer" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjG5KvJD0bhyphenhyphendLRT3wsRougMw6Mk1YDFBoJ0tFm4pAQQv6RoNv0mxxciCF2G7EGAeVijlURJ8Ho8sKZHC-QlixbbGz_qyoIHgD88J85ELY0vv-3n2L7wyakMU-YGbYZL7LPEam6YWdEopo/s320/Ida+Rsi+Anom.jpg" border="0" /></a><br />Demi Titah Leluhur Kembali ke Kawitan<br />Sulit memang, kalau jalan hidup sudah diatur oleh Hyang Widhi, rencana yang sudah matang pun menjadi lain karena melanjutkan titah leluhur. Sebaliknya, kalau ditolak akan banyak masalah akan menimpa keluarga yang silih berganti berdatangan, termasuk ekonomi keluarga menjadi kacau balau. Apa salahnya melanjutkan kepanditan leluhur kalau sudah kehendak Tuhan.<br /><br />Seperti pepatah mengatakan, setinggi-tingginya burung terbang, atau sejauh-jauhnya burung merantau guna mencari makan, pada akhirnya kembali jua ke sarangnya atau ke tanah kelahirannya. Begitulah kehidupan bagi orang yang merantau di tanah orang. Walaupun rencana matang sudah dilakukan. Tapi, kehendak leluhur atau Hyang Widhi memutuskan lain.<br /><br />Begitu perjalanan seorang sulinggih dengan bhiseka Ida Bhujangga Rsi Anom Phalguna selama walaka. Awalnya, tutur Ida Rsi dengan nama walaka I Gede Putu Widnyana, S.Sos, tidak akan kembali ke tanah leluhurnya. Guna memantapkan rencana tersebut, demi perkembangan umat Hindu, akhirnya fakta bicara lain. Sulinggih dengan 3 anak ini pun tidak bisa memutuskan secara saklek kehendak apa akan direncakan di Irian. Pasalnya, datang surat dari Pulau Dewata, memberikan ketegasan yang tidak bisa ditolak.<br /><br />“Pokokne, Bli harus pulang, tidak ada lain selain Bli yang melanjutkan trah leluhur untuk melanjutkan kepanditan di keluarga,” tutur Ida Rsi yang wawasan agamanya cukup luas.<br /><br />Di satu sisi, rencana untuk membuat merajan, membangun rumah serta tanah untuk itu sudah siap, bahkan sudah akan siap menjadi warga Irian.<br /><br />Sayangnya, demi titah Ida leluhur, Ida Rsi berprofesi PNS Badan Meteorologi Geofisika di Irian pun tidak bisa menolak untuk came back to campung. “Bagaimana ya, atas surat perintah dari Bali, Ida Rsi tidak bisa berkutik, harus dijalani, kalau tidak masalah akan menjadi lain di dalam keluarga,” kenang Ida Rsi yang mempunyai pikiran Hindu ke depan lebih padat dan lebih konsen dengan SDM berkualitas.<br /><br />Sejatinya, perjalanan Ida Rsi kelahiran tahun 1 Januari 1958 sudah kenyang makan garam baik secara teori maupun praktek agama. Maka, tidak heran Ida Rsi dengan pendamping setia Ida Bhujangga Rsi Istri Hari Laksmi paham betul makna-makna upakara serta prakteknya. Ida Rsi bertubuh tegap pun sudah pengalaman menjalani kebrahmanan mulai dari menjadi pamangku di berbagai daerah di luar Bali.<br /><br />Pertama kali, Ida dipercaya menjadi pamangku di Pura Jagatnatha Wira Bhakti, di Biak Irian Jaya tahun 1981 sampai 1994. selanjutnya, di Timor-Timur, juga mendapat kepercayaan mengemban tugas suci di Pura Girinata mulai tahun 1994 sampai tahun 1998. Guna memantapkan kualitas pamangkunya, sulinggih alumni STIA Yapis Irian Jaya ini pun pernah mengikuti penataran pamangku tingkat Nasional angkatan 11 di Unhi Denpasar tahun 1996. Akhirnya pindah ke kawitan (baca kembali ke tanah kelahiran) tahun 1998 serta tahun 2000 menjadi pangabih Ida Rsi Nabe.<br /><br />Kembali Ida Rsi mendapat tugas mulia dan menjadi pamangku di Pura Jagatnatha Pemkab Jembrana tahun 2000 sampai tahun 2004. Akhirnya tahun 2004 memutuskan madiksa menjadi sulinggih. Kentadi Ida Rsi sudah madeg pandita, tapi masih menjadi PNS aktif, namun status Ida sebagai staf ahli ditempatkan di Dinas Ekbang Sosbud Pemkab Jembrana. Karena tenaga Ida Bhujangga Rsi sangat dibutuhkan guna memberikan berbagai pertimbangan secara moril dan spiritual di dalam membangun Pemkab Jembrana.<br /><br />Yang sangat penting setelah perjalanan menjadi madeg pandita, Ida Rsi merasakan sekali tugas semakin berat. Kenapa? Karena Ida Rsi tidak mau sekadar malinggih, yang jelas Ida Rsi ingin memberikan pencerahan kepada umat Hindu agar menjadi pemeluk Hindu yang benar-benar paham dengan ajarannya. Tidak hanya menjadi pemeluk Hindu tapi tidak mengerti ajaran Hindu yang sebenarnya, apalagi hanya sibuk dengan upacara, sehingga muncul kesan Hindu itu rumit, biaya upacara mahal dan masalah krusial lainnya.<br /><br />Kata Ida Bhujangga Rsi, tugas berat ini terus dijalani dengan dasar pilar agama yaitu satya, dharma, prema, shanti, dan ahimsa. Akhirnya dengan pilar pokok ini, segala tugas Ida Bhujangga berjalan dengan baik. Bahkan semakin sibuk mendapat tugas melayani umat dalam arti mulia Asal tahu saja, masih banyak yang harus diceritakan perjalanan Ida Bhujangga Rsi yang satu ini.<br /><br />Apalagi Ida Rsi mempunyai ide-ide yang sangat cerdas, berwawasan Hindu ke depan agar umat Hindu tidak risau menjadi Hindu. Ketimbang pindah agama, lebih baik Ida Rsi banyak terjun ke kantong-kantong umat yang mengeluh dengan ritual yang rumit, ribet, walaupun sejatinya menjadi umat Hindu tidak serumit yang dibayangkan. Putu Patra<br />Diposting oleh baliaga<br />Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Dwi Putra Brahmanda<br />Sulinggih Rendah Hati Sarat Prestasi<br /><br />Jalan hidup sulinggih yang satu ini, boleh dikatakan gemilang dalam prestasi, walaupun mengaku minim kualitas pendidika secara formal, dan tidak tamat SD. Tapi pendidikan formal yang tinggi tidak menjamin seseorang menggapai prestasi yang menonjol. Tapi sulinggih asal Buleleng ini ternyata gigih, rajin, tekun sehingga patut menjadi sosok teladan bahkan menjadi seorang guru dari orang yang bertitel. Berikut kisah Ida Pandita<br /><br />Pendidikan formal yang minim, tak sepenuhnya menjadi kendala untuk memacu dan mengembangkan potensi diri. Seperti halnya Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Dwi Putra Brahmanda. Walaupun hanya sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar, itupun tidak sampai tamat. Selain dikenal ahli menulis lontar, juga dikenal sebagai dukun usadha. Berbagai prestasi gemilang berupa piagam penghargaan pernah diraihnya, Apa yang menjadikan Ida Pandita Nabe mampu mengukir berbagai prestasi itu? Inilah hasil penelusuran wartawan TBA.<br /><br />Saat wartawan Bali Aga bertandang ke griya yang berlokasi di Banjar Wiguna, Desa Pelapuan, Busungbiu, Buleleng, nampak pria paruh baya sedang serius dengan aktivitasnya. Di setiap sudut dihiasi pot bunga berbagai jenis dan ukuran, sehingga mampu mempercantik griyanya.<br /><br />Suara kicauan beberapa jenis burung yang tergantung rapi, menambah suasana semakin nyaman, sehingga rasanya ingin berlama-lama berada di sini. Mengetahui kami datang, serta merta Ida Pandita Mpu Nabe menghentikan aktivitasnya. Dengan senyum dan gaya bicaranya yang khas, Ida Pandita mulai bercerita.<br /><br />“Tiang terlahir dari keluarga petani dengan ekonomi yang serba pas-pasan. Karenanya, tiang hanya sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar dan itupun nungkak (tidak sampai tamat-red),” ujarnya seraya menunjukkan foto-foto kenangannya saat walaka.<br /><br />Latar belakang pendidikan yang sangat rendah, tak membuat sosok Ida Pandita Nabe minder, bahkan membuat harapannya pupus untuk belajar. Melainkan membuat semangatnya semakin berapi-api dan lebih giat menempa diri. “Walaupun hanya sempat mengenyam pendidikan Sekolah Dasar, tak membuat tiang minder, namun memacu semangat lebih tekun belajar. Bahkan, sambil bekerja tiang sempatkan membawa buku, dan merapal apa yang sebelumnya tiang dapatkan,”jelas Ida Pandita Mapu Nabe dengan nada datar.<br /><br />Berbekal pendidikan yang sangat minim, ternyata tak menjadi kendala bagi Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Dwi Putra Brahmanda yang bernama walaka I Wayan Nastra, untuk menggali dan mengembangkan potensi dalam dirinya. Berbekal pendidikan Sekolah Dasar dan itupun tidak sampai tamat, Ida Pandita Mpu Nabe, dengan semangat dan dedikasi tinggi terus berusaha menggali dan mengembangkn potensi yang dimiliki. Semangat, dan kerja keras, selama ini, ternyata tidak sia-sia. Berbagai piagam pernah diraihnya, baik dari pemerintah daerah hingga dari presiden Republik Indonesia di bidang Keluarga Berencana dan penghargaan lainnya.<br /><br />Bahkan, tak sedikit yang bertitel sarjana belajar kepadanya. Ida Pandita Nabe juga sempat diekspos salah satu media, tentang keahliannya dalam menulis lontar. Semangat dan kerja kerasnya patut diacungi jempol serta dijadikan contoh. Semua itu tak lepas dari peran orang tuanya yang seorang guru yoga, serta penulis lontar cukup tersohor dan banyak memiliki murid.<br /><br />“Ketegasan dan kedisiplinan orangtua, tiang jadikan pemacu lebih giat belajar. Berbagai ilmu tiang pelajari termasuk membaca dan menulis lontar. Banyak lontar telah tiang salin ke hurup latin. Bahkan, banyak yang belajar bahasa Bali di sini,” jelas suami I Nengah Sukanami yang kini mabisekha Ida Pandita Mpu Istri Nabe Daksa Dwi Putra Brahmanda serius.<br /><br />Di samping itu, Ida Pandita yang dikenal ramah ini, juga memiliki kartu anggota pedalangan PDSI (Persatuan Dalang Seluruh Indonesia). Sepak terjang dan semangatnya itu, sering dijadikan panutan atau contoh masyarakat sekitar dan krama luar yang sering tangkil ke griya. Ida Pandita Mpu Nabe juga sering dimohon membuat awig-awig desa dalam bentuk lontar berbahasa Bali, dan menyalin lontar ke dalam bahasa latin.<br /><br />Setelah orangtuanya meninggal, kemudian Ida Pandita Nabe harus meneruskan semua profesi ayahnya yang seorang guru yoga, balian usadha, dan pemangku. Beliau sering muput upacara Panca Yadnya. Maklum saat itu sulinggih sangat sedikit.<br /><br />“Setelah orangtua meninggal, banyak krama datang dengan berbagai tujuan, dan sempat mengelak. Karena merasa tidak memiliki kemampuan dalam bidang itu. Namun akhirnya tiang sadar bahwa tugas tersebut harus dipikul dan dijalankan,” tegasnya.<br /><br />Lebih lanjut ayah lima orang putra ini mengatakan, setelah dijalani, rasa khawatir itu sirna dan semua berjalan seperti air. Berbekal keyakinan dan keberanian, orang yang ditolong banyak yang sembuh, padahal hanya menggunakan Gayatari Mantra.<br /><br />Guna meningkatkan pengetahuannya Ida Pandita memutuskan aguron-guron, (belajar-red) tepatnya di Griya Penarukan, Buleleng. Yang saat itu digembleng oleh Ida Pandita Mpu Nabe Dwi Tantra (almr), mulai dari tingkat Jro Mangku, Jro Gede, dan Jro Bawati.<br /><br />Niatnya malinggih selalu gagal. Salah satu kendalanya, melihat kemampuan yang dimiliki, gurunya berkeinginan menjadikan Ida Pandita menjadi seorang Dalang Brahmana. Karena saking baktinya, permintaan itu pun dijalankannya dan berhasil dengan baik. Belum selesai tugas itu, ternyata Tuhan berkehendak lain dan Sang Nabe keburu dipanggil (amor ring acintya). Kemudian setelah Ida Pandita Mpu Nabe Sinuhun dari Griya Agung Bongkasa Badung, mengetahui kemampuannya, mendesak agar segera melinggih. Akhirnya pada tahun 2001, Ida Pandita membulatkan tekad melinggih dan ditapak oleh Ida Pandita Mpu Nabe Istri Made didampingi Ida Pandita Mpu Nabe Sinuhun. Dengan Bhiseka Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Dwi Putra Brahmanda.<br /><br />Setelah melinggih, Ida Pandita tetap melaksanakan profesi sebagai dalang, penulis lontar dan ngemargiang tetambaan. Ida Pandita merupakan satu-satunya Dalang Brahmana di Buleleng. Namun demikian, Ida Pandita selalu melewatkan sisa hidupnya dengan penuh kesederhanaan. Andiawan<br />Diposting oleh baliaga<br />Ida Pandita Mpu Sadi Angga Yoga<br /><br />Madiksa atas Kehendak Niskala<br /><br />Kalau boleh ditolak, mungkin sudah lain ceritanya. Tapi perjalanan Pandita dari Kerambitan ini malah tak kuasa menolak kehendak niskala. Terbukti, berbagai penderitaan datang silih berganti. Akhirnya datang juga amanat dari nabe untuk segera madiksa.<br />Tidak semua orang mau begitu saja menjadi sulinggih atau menyucikan diri dengan jalan madiksa. Terkadang kalau mau ditolak, bisa jadi Pandita Mpu yang satu ini tidak akan menyandang predikat sang wiku. Inilah perjalanan panjang I Wayan Ada sebuah nama sederhana tapi penuh makna ketika masih walaka.<br /><br />Sekarang, nama walaka sudah dilepas setelah ditapak oleh seorang nabe dari Griya Agung Klaci, Marga, Tabanan mabhiseka Pandita Mpu Daksa Samyoga. Semenjak tahun 2001, setelah digelar pawintenan trijati, sulinggih berpenampilan sederhana menyandang bhiseka Ida Pandita Mpu Sadi Angga Yoga. Lalu, bagaimana kisah perjalanan sulinggih yang mengaku sebagai petani selama walaka? Berikut kisahnya di dalam obrolan santai dengan BALI AGA di Griya Sading, Banjar Kukuh Kangin, Kerambitan, Tabanan.<br /><br />“Tiang wantah pengalaman wit saking pamangku, dumun tiang petani. Sakewala, tan wenten kleteg jagi malinggih,” kata Pandita Mpu mengawali ceritanya. Dikatakan Pandita yang lama menjadi pamangku ini, memang menurut sastra setiap orang wajib menyucikan diri. Tapi, yang namanya wiku tidaklah gampang disandangnya. Perlu kesiapan lahir dan bathin. Apalagi Pandita Mpu satu putri ini mengaku tidak ada niat apalagi pengalaman kurang.<br /><br />“Begitu juga pergaulan, sejak awal hanya sebagai pamangku di Pura Siwa Sading sejak tahun 1973. Hanya ini bekal satu-satunya untuk bisa menjadi sulinggih, ditambah tugas untuk muput pitra yadnya,” urai Pandita dengan penampilan lugu. Begitu juga perjalanan muput yadnya dijalani mulai tahun 1978, selanjutnya mawinten Jro Gede pada tahun 1993 sampai tahun 2001.<br /><br />Tetapi, tandas Pandita yang mengaku pernah bekerja di Beringkit sebagai penjaga selama satu tahun, justru ada keanehan selama mencari nabe. Di dalam mencari nabe, banyak kendala. Awalnya, tutur sulinggih tamatan SR ini, ingin bernabe kepada seorang soroh ida bagus. Anehnya, selalu gagal. Setiap ida bagus yang dijadikan nabe (guru kerohanian-red) selalu meninggal. Perjalanan bernabe ini cukup lama.<br /><br />Dengan kendala ini, diputuskan mencari nabe dari pasek saja,. akhirnya diambil keputusan kleteg kayun (keneh) ke Griya Agung Klaci ring Ida Pandita Mpu Daksa Samyoga.<br /><br />“Yan tan iwang baan tiang narka, wenten matemu ring nabe salami seket (50 kali). Akhirnya Nabe memberikan keputusan untuk madiksa saja,” kenang sulinggih bertubuh mungil ini dengan santun. Saat itulah Pandita Mpu yang istrinya Ida Pandita Mpu IstriTirta lebar tahun 2006, ada niat untuk menolak. Tawaran ini diberi waktu selama tiga tahun.<br /><br />Hanya saja, tutur Pandita Mpu yang tinggal di Griya Sading, Kukuh, Kerambitan, Tabanan ini, niat untuk menolak ini tidak bisa berjalan mulus. Ada saja sandungan yang menimpa diri Pandita. Termasuk di keluarga tidak sesuai dengan harapan. bahkan, Pandita sendiri merasakan hal-hal di luar logika.<br /><br />“Tiang sering sungkan tan keni antuk, punapi mawinan. Kadirasa tan anut ring pangrasa, jeg sungkane tan pegat-pegat,” cerita Pandita dengan logat bahasa Bali kentalnya.<br /><br />Pandita Mpu kelahiran tahun 1941 bercerita panjang kenapa mau malinggih sebagai madeg pandita. Perjalanan menjadi sulinggih pertama kaadegan sebagai pamangku, alasan lain karena beberapa kali kesakitan, kalau tidak salah sebanyak 4 kali. Jatuh karena kaseleo, sakit aneh beberapa kali dicarikan mantri kesehatan tak pernah sembuh. Akhirnya dicari jalan lain, dan sempat maluasan.<br /><br />Semenjak malinggih, suasana di griya sedikit tenang. Selama malinggih, ada saja umat datang ke griya dengan berbagai tujuan. Ada yang nunas tirta, menanyakan dewasa ayu tentang upacara dan tujuan lainnya seperti mohon tuntunan malukat. Selama Pandita Istri masih ada, suasana griya menjadi hidup, karena sering ada aktivitas membuat banten berbagai upacara atas permohonan umat.<br />Di akhir obrolan santai dengan awak BALI AGA, dikatakan Pandita, umat yang tangkil bukan hanya dari sekitar griya saja, namun banyak penangkilan dari luar desanya. Bahkan umat dari jauh juga ada saja yang tangkil menanyakan masalah yadnya. Ayu Ratna<br />Diposting oleh baliaga<br />Ida Pandita Mpu Wiswa Rupa Bhiru Dhaksa<br />Sesungguhnya pendeta adalah pelayan umat yang tidak harus disanjung dan disembah. Sulinggih memiliki sifat seperti pasir yang menyerap air, apakah air tersebut kotor atau bersih, semuanya terserap. Namun pada akhirnya yang akan keluar adalah air yang bersih saja. Itulah inti seorang sulinggih yang bisa menyerap ilmu apapun, dan kemudian dipilah-pilah dan hanya yang baik yang dipakai. Kedatangan TBA menyasar daerah Buduk, sampailah di depan sebuah rumah yang bertuliskan Griya Agung Adhika Sari. Inilah Griya Ida Pandita Mpu Wiswa Rupa Bhiru Dhaksa dengan nama walaka I Gede Biakta.Pertama masuk terlihat suasana ramai di mana ibu-ibu sibuk dengan kegiatannya membuat banten. Sambutan hangat menyertai, dan kedatangan itu tepat dengan surya sewana yang merupakan rutinitas seorang sulinggih di pagi hari. Sambil menunggu sejenak di saren kajaterdengar suara burung menambah heningnya suasana griya. Tumpukan buku-buku di samping tempat duduk seakan menceritakan bahwa Ida Pandita gemar membaca.<br /><br />Selang beberapa lama puja Ida Pandita usai dan terjadilah perbincangan parindikan Ida Pandita.<br /><br />Masa kecilnya dijalani seperti biasa layaknya anak kecil pada umumnya. Masa sekolah menjadi masa menuntut ilmu baginya di mana kegemarannya dalam bidang bangunan mengantarkannya bersekolah di STM Bangunan Negeri Denpasar. Setelah menamatkan pendidikan, pekerjaan pun diraih.<br /><br />“Sambil bekerja sekitar tahun 1976 tiang menjadi pragina yang belajar secara otodidak. Di sini memang keturunan pragina. Kemudian berkembang tahun 1987 mulai menjadi dalang. Dari dalang inilah kemudian meningkat nopeng,” jelas Ida Pandita.<br /><br />Barulah tahun 2002 keinginannya untuk mendalami ajaran spiritual tumbuh dengan sendirinya. Kemudian berlanjut munggah menjadi bhawati tahun 2005. Semua dijalani secara bertahap hingga munggah menjadi Sri Empu pada bulan April 2006 bertepatan dengan Purnama Kadasa.<br /><br />“Kita sadar dengan ajaran Catur Asrama, selama hidup menjadi yogi bagaimana caranya supaya dalam hidup menjalankan ajaran agama. Dengan malinggih merupakan penebusan dosa, dengan penyucian diri setiap hari. Selain itu dapat meningkatkan pengetahuan, sebab ada ilmu yang tidak bisa dipelajari sebelum malinggih di sana. Dan yang paling penting adalah mengabdikan diri pada umat dengan memberikan pelayanan dalam bidang spiritual,” ungkapnya.<br /><br />Menurutnya, sesungguhnya pendeta adalah pelayan umat yang tidak harus disanjung dan disembah. Sulinggih memiliki sifat seperti pasir yang menyerap air, apakah air tersebut kotor atau bersih, semuanya diserap. Namun pada akhirnya yang akan keluar adalah air yang bersih saja. Itulah inti seorang sulinggih yang bisa menyerap ilmu apapaun, dan kemudian dipilah-pilah dan dipakai yang baik. (sadnyari). . . …………………Baca Edisi 32<br />Diposting oleh baliaga<br />Ida Peranda Gde Made Pengiasan<br /><br />“Sebelum melinggih, tiang bergabung di Angkatan Laut. Selama menjalankan tugas, manis pahitnya kehidupan pernah tiang rasakan. Terutama saat bertugas di daerah konflik. Antara hidup dan mati, tak ada jurang pemisah tiang rasakan,” ujar ayah lima orang putri ini, mengaku bergabung di Angkatan Laut sejak tahun 1966.<br /><br />Pedanda yang dikenal ramah ini lebih lanjut mengatakan, banyak hikmah yang bisa didapat selama bergabung di Angkatan Laut. Selain banyak pengalaman, juga dididik selalu berjalan di atas keberanian serta selalu disiplin baik waktu maupun hal-hal lain dalam berbagai hal. Cara itu kemudian diterapkan untuk mendidik anak-anaknya. Dengan cara itu, lanjut Ida Peranda, kini anak-anaknya mampu berdiri sendiri dan sukses.<br /><br />“Tiang tidak bisa membekali anak-anak dengan harta benda, tetapi hanya ilmu yang bisa tiang bekali. Syukurlah sebelum pensiun, anak-anak berhasil menyelesaikan pendidikan di universitas, sehingga memiliki bekal untuk mencari kerja,” jelas Peranda didampingi Ida Peranda Istri Agung Rai yang saat walaka bernama Anak Agung Rai Murtini. Kesejahteraan anggota TNI pada waktu itu tidak seperti sekarang. Semua hidup dengan ekonomi serba pas-pasan, gaji hanya cukup 15 hari. Sehingga tak jarang gali lubang tutup lubang. Beruntung istri pintar mengatur, sehingga anak-anak bisa mengenyam pendidikan sampai di perguruan tinggi.<br /><br />Lebih lanjut Ida Peranda mengungkapkan, selama bertugas tak pernah tergiur mengambil pekerjaan yang bertentangan dengan ajaran agama. Melainkan Peranda sering membantu orang-orang yang sedang kesusahan dengan tulus, tanpa pernah mengharapkan imbalan. Mungkin karena sering membantu dengan tulus-ikhlas, Peranda mengaku sering mendapat rezeki tak terduga, terutama pada saat membutuhkan.<br /><br />“Karakter tiang memang keras dan tegas. Namun semua itu demi kebaikan dan kemajuan, sehingga selalu siap menghadapi berbagai pantangan dan tantangn hidup. Karakter tersebut tak lepas dari gemblengan selama bergabung di Angkatan Laut.,” kata Peranda berbadan agak subur ini menegaskan.<br /><br />Kemudian tekad kerasnya ingin mengikuti jejak leluhurnya menjadi seorang sulinggih, permohonan untuk pensiun sempat ditolak hingga tiga kali oleh atasannya. Kemuduan setelah pensiun Peranda mulai melakukan pembelajaran di bidang agama, kepemangkuan, upacara dan lainnya dengan menjadi pengiring Ida Gde Ngurah, di Griya Ujung, Kesiman, Denpasar.<br /><br />Dalam kurun waktu 11 tahun itu, selain menjadi pengiring juga sering mengikuti pelatihan kepemangkuan dan bebantenan. Selain itu, untuk mendukung profesinya Peranda mengoleksi berbagai macam buku dan lontar yang berkaitan dengan peningkatan pengetahuan keagamaan serta bebantenan.<br /><br />Merasa sudah siap malinggih, akhirnya Peranda dengan segala kemampuan yang ada memutuskan malinggih pada tanggal 4 Agustus 2005. “Saat itu tiang disport dan didukung oleh Puri Agung Pemecutan, sehingga setiap ada kegiatan tiang selalu ngayah di Puri,” ujar Peranda dengan nada datar.<br /><br />Dikutip Dari :<a href="http://yatra-bali.blogspot.com/"> Bali Age</a>Keluarga Besar Bhujangga Waisnawahttp://www.blogger.com/profile/10952693366980852246noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1535022042609233981.post-59528161291909609042008-09-12T00:43:00.000-07:002008-09-12T00:44:15.385-07:00Membongkar Kebohongan Mitos Maya Danawa<table cellspcing="0" width="100%" cellpadding="0"><tbody><tr><td><b><span style="color: rgb(0, 0, 128);font-size:130%;" ><br /></span></b></td></tr><tr><td><p align="justify"><span style="font-family:Arial;"><span style=";font-size:85%;color:black;" > Galungan adalah hari raya besar keagamaan yang hingga kini masih dirayakan umat Hindu di Bali. Perayaan yang jatuh setiap Buda Kliwon wuku Dungulan ini merupakan peringatan terhadap menangnya dharma atas adharma. Dharma adalah suatu istilah dalam Hindu, jika diterjemahkan secara gampang ia bermakna kebenaran. Sebaliknya adharma adalah kebalikan dari dharma, yaitu aspek ketidakbenaran atau kejahatan.<br /><br />Hari raya ini berpedoman kepada kitab Usana Bali yang ada memuat cerita Maya Danawa, seorang raja di Bedahulu yang konon atheis, melarang rakyatnya menyembah Tuhan. Paling tidak, demikian kitab Usana Bali menyebutkan, Raja Maya Danawa ini pula selanjutnya diidentikkan sebagai pihak yang mewakili tokoh adharma di masa silam, sedangkan tokoh dharma-nya adalah Dewa Indra. Beginilah kehebatan cerita yang berkisah tentang terjadinya peperangan antara manusia (Maya Danawa) melawan Dewa (Dewa Indra, Hyang Pasupati dan Dewa Mahadewa).<br /><br />Namun, bagi Drs. Made Dhama, MBA., MM, cerita Maya Danawa itu tak lebih dari cerita rekayasa penguasa masa silam yang berkaitan dengan persaingan antar sekte di Bali. ”Cerita Maya Danawa yang diwarisi masyarakat Bali sekarang ini tak lebih dari muslihat pembelaan golongan dan penistaan golongan kepercayaan lain,” katanya. Guru Made Dama, demikian ia akrab disapa, menduga sangat mungkin cerita ini disusun pada zaman raja Dalem Waturenggong di Gelgel. Entah siapa yang mengarang cerita yang melegenda ini, yang pasti penyusunnya tentulah pengikut sekte Saiwa dan pemuja Indra.<br /><br />Maya Danawa sejatinya bukanlah suatu figur yang nyata, namun ia lebih merupakan mahluk ilusi yang dihakimi oleh penulis cerita dalam pikirannya. Maya Danawa lebih menunjuk kepada suatu kata sandi, yaitu Maya-Danu dan Wa. Maya berarti hilang, Danu artinya air, dan Wa berarti pengikut. Jadi Maya Danawa memuat arti rahasia tentang lenyapnya pengikut Dewa Air (Wisnu) di Bali. Sebaliknya pengikut Saiwa mengesahkan kemenangan hegemoninya dalam cerita tersebut, terbukti dengan suksesnya Dewa Mahadewa dan Dewa Indra menumpas Raja Maya Danawa. Dengan demikian, sesuatu yang disembunyikan di balik cerita ini adalah persaingan sengit faham Siwa Sidhanta dan Waisnawa di Bali.<br /><br />Perseteruan faham ini nampaknya kian memuncak di zaman Gelgel, kerajaan yang berdaulat penuh atas Pulau Bali saat itu. Faham Waisnawa yang lebih mengedepankan aspek Jnana Yoga dan meminimalkan ritual-ritual meriah rupanya telah menjadi ancaman yang merongrong eksistensi keberadaan faham Siwa Sidhanta zaman itu. Faham Waisnawa lebih sibuk dengan pendalaman tattwa, mengedepankan jalan bhakti dengan yoga kemudian dikritik habis-habisan oleh pengikut faham Saiwa. Penyembah Dewa Air (Danu) ini kemudian dihakimi sebagai orang-orang atheis, karena dianggap telah ‘berdosa’ oleh pihak lain, karena sedikit melakukan upacara-upacara, tidak seperti yang biasa dilakukan oleh para pengikut Saiwa.<br /><br />Dalam Bhuwana Tattwa Rsi Markandeya yang disusun Ketut Ginarsa ada disebutkan, bahwa pada zaman Raja Waturenggong terjadi sebuah intrik asmara antara putri Dalem yang dilahirkan dari istri penawing (selir) dengan Ida Bhujangga Guru, seorang guru spiritual puri dari Waisnawa. Sebenarnya Dalem Waturenggong memiliki empat keturunan: tiga putra dan seorang putri. Mereka itu adalah I Dewa Pamayun, I Dewa Ayu Laksemi, I Dewa Saganing dan I Dewa Ularan. I Dewa Ayu Laksemi dan I Dewa Ularan adalah putra dari selir.<br /><br />Selanjutnya, I Dewa Pamayun dan I Dewa Saganing berguru kepada Brahmana Siwa, I Dewa Ayu Laksemi berguru kepada Brahmana Bhoda dan I Dewa Ularan berguru kepada Sang Bhujangga Waisnawa. Entah berapa lama mereka aguron-guron, hingga usia remaja Dewa Ayu Laksemi memekarkan musim asmaranya. Celakanya ia jatuh cinta pada Sang Bhujangga Waisnawa, dan sang guru ini juga mempunyai perasaan yang sama terhadapnya. Jadilah hubungan asmara itu terjadi, hingga membuat Brahmana Siwa dan Bodha marah. Demikian juga Dalem Waturenggong tak kepalang murkanya, serta merta bersiap mengambil senjata pusaka untuk membunuh sang Bhujangga. Sayang, rencana sang raja gagal, karena Sang Bhujangga telah membaca gelagat buruk itu. Jejaknya tak dijumpai lagi di Klungkung, dan ia mengungsi ke Gunung Sari yang kemudian menikahi Dewa Ayu laksemi.<br /><br />Sejak intrik asmara yang merembet ke intrik politik ini terjadi, golongan Bhujangga tidak mendapat posisi istimewa lagi di Gelgel. Tidak cukup sampai di situ, kemudian kuat dugaan para rakawi lantas membuat suatu kisah yang menceritakan lenyapnya pengikut pemuja Dewa Air di Bali.<br /><br />Cerita rekayasa sia-sia belaka, sebab sejak Mpu Kuturan meletakkan gagasan Desa Pakraman dengan khas Kahyangan Tiga, maka praktik Tri Murti Paksa kian kuat di Bali. Tiadalah mungkin lagi mendirikan dominasi satu sekte secara formal di atas sekte-sekte lain. Kecuali dalam ranah budaya yang saling campur-baur, akan nampaklah jejak-jejak warna praktik masing-masing sekte, itu pun tidak dalam wujudnya yang utuh lagi.<br /><br />Kentalnya pesan-pesan faham Siwa dan Sakti dalam Usana Bali juga terdapat pada bagian setelah cerita Maya Danawa. Dikisahkan ada seorang penguasa Bali lahir yang bernama Sri Aji Jaya Kasunu, namun awalnya tidak berminat menjadi raja. Ia selalu memuja dewata dan ketika tengah malam ia pergi ke Gandamayu melakukan semadi memuja Hyang Nini Batari (Dewi Durga). Seketika Dewi Durga datang dan bersabda, “Wahai Sri Jaya Kasunu, Aku memberitahukan engkau, ada pun yang menyebabkan setiap yang menjadi raja di Bali segera wafat, karena ia setiap Kala Tiga wuku Dungulan tidak melakukan upacara Abeyakala, tidak mematuhi tatakrama yang berlaku sejak zaman dulu kala, hal itu yang menyebabkan, setiap yang dinobatkan menjadi raja belum mencapai waktu dua tahun segera wafat, bersama rakyat di wilayah kekuasaannya meninggal dunia.<br /><br />Karena para dewata menyebarkan wabah penyakit, oleh karena pura dan semua tempat suci dalam keadaan rusak, tidak seperti masa silam. Dan bila ananda berkeinginan untuk menjadi raja, maka anandalah yang patut memugar, memperbaiki pura tenpat suci untuk pemujaan, tunjukkan keteguhan sujud bhaktimu serta laksanakan yoga samadi, memuja para dewata. Lagi pula, apabila saat Kala Tiga wuku Dungulan yang jatuh pada hari Selasa Wage Dungulan , ananda patut melaksanakan upacara Abeyakala, yang diikuti bersama-sama oleh umat di Pulau Bali. Mereka agar bersenang-senang makan dan minum di wilayah desanya masing-masing dengan terlebih dahulu mempersembahkan sesajen di puranya masing-masing, serta menancapkan penjor di halaman depan rumahnya masing-masing, utamakanlah ananda mematuhi tata karma di masa silam.<br /><br />Demikiaanlah diceritakan Sri Jaya Kasunu menerima anugerah dari Bhatari Durga, kemudian ia memerintah Bali dengan sentosa.<br /><br />Titah Bhatari Durga itu kini dirayakan sebagai Penampahan Galungan, saat mana masyarakat mengadakan pesta makan dengan menyembelih babi atau hewan lain. Sekalian menancapkan penjor dan melangsungkan upacara Abyekala.<br /><br />Sebagaimana diketahui, di masa silam di Bali terdapat banyak sekte: Saiwa, Ganapatya, Sora (Surya), Brahmana, Sakta, Pasupata, Waisnawa, dan lainnya. Kemudian setelah kedatangan Mpu Kuturan, semua sekte di Bali dilebur menjadi sistem pemujaan Tri Murti dengan ciri khas Kahyangan Tiga: Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Dewa Wisnu, Pura Desa sebagai tempat memuja Dewa Brahma dan Pura Dalem sebagai tempat memuja Dewa Siwa. Kahyangan Tiga ini ada di setiap Desa Pakraman. Toh dalam bentuk pura atau tempat suci, tiga dewa utama itu yang disembah sebagai manifestasi Tuhan dalam fungsi sebagai pencipta, pemelihara dan perehabilitasi, namun dalam praktik ritual dan pemujaan berbagai figur ista dewata (dewa yang dimuliakan) masing-masing sekte semuanya dipuja. Sebutlah menyembah Dewa Surya dalam acara kramaning sembah atau Nyurya Sewana para sulinggih setiap pagi. Demikian juga Ganesha dipuja dalam upacara pecaruan sebagai dewa penghancur semua halangan. Tapi dalam ritual yang berwarna praktik tantrik rupanya yang dominan adalah pengaruh faham Sakti, utamanya Bhima Bhairawa. Sebutlah misalnya upacara persembahan dengan darah seperti dalam caru, penggunaan arak-berem dalam tetabuhan, makanan lawar yang bercampur darah mentah, tabuh rah (sabung ayam), mudra (gerakan tangan bermakna mistik), mantra rahasia dan lainnya. Dan dalam amanat Usana Bali, khususnya cerita Jaya Kasunu dengan tegas menyebutkan kalau perayaan Galungan bersumber dari Dewi Durga, ista dewata pemuja Sakti (Dewi).<br /><br />Demikian juga adanya anjuran untuk bersenang-senang dengan makan dan minum pada hari Penampahan Galungan (Selasa Wage Dungulan) adalah bagian dari ajaran Panca Makara Bhairawa. Ini hanya memberi jalan terang, bahwa kitab Usana Bali yang sekaligus memuat cerita Maya Danawa adalah disusun oleh pengikut Siwa dan Sakti. Pemuja Sakti bukan mewakili faham Tri Murti Paksa yang digiatkan oleh Mpu Kuturan. Wajar kemudian cerita Maya Danawa menggunggulkan ista dewata tertentu saja, bukan Dewa Tri Murti.<br /><br />Dalam pandangan Guru Made Dama, kisah Maya Danawa yang menyindir lenyapnya pengikut air (penyembah Wisnu) di Bali adalah hal yang mustahil, karena praktik Hindu tidak bisa lepas dari kebudayaan air, di mana pun berada. Di India misalnya, umat Hindu melakukan penyucian diri di sungai Gangga, sedangkan di Bali berbagai ritual memanfaatkan tirta (air suci) untuk melaksanakan upacara. Bahkan agama Hindu di Bali dulu disebut agama tirta, agama air. Inilah unifikasi, berbagai faham telah bersatu padu dalam berbagai praktik keagamaan, sehingga tidak masanya lagi mengedepankan hegemoni salah satu sekte saja.<br /><br />Galungan sendiri menurut Made Dama adalah perang dharma dan adharma dalam diri manusia itu sendiri. Ia berkaitan dengan ajaran hukum karma. Jika selama enam bulan itu kecenderungan-kecenderungan baik lebih banyak dikembangkan, maka dharma-lah yang menang. Namun, jika selama enam bulan itu justru hal-hal buruk mendominasi kehidupan seseorang, jelas tak layak merayakan kemenangan dharma pada hari Galungan. ”Galungan adalah evaluasi karma selama enam bulan,” jelasnya, dan menambahkan tak ada hubungannya dengan cerita Maya Danawa.<br /><br />Berbeda dengan ulasan Made Dama, di tempat terpisah Guru Besar Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, MS menyatakan, Maya Danawa tidak bisa diuraikan menjadi maya-danu+wa. Karena berdasarkan etimologi dan tipologi kata, danawa itu adalah bahasa sanskerta kemudian diserap oleh bahasa Jawa Kuno. Danawa itu adalah kata tunggal yang berarti mahluk-mahluk gaib sejenis raksasa, daitya dan sejenisnya. Jadi menurut kaidah bahasa, mustahil kata danawa dipecah-pecah menjadi danu+ wa, kecuali itu ulasan gaya bebondresan topeng.<br /><br />Toh demikian, Weda Kusuma pun sependapat soal adanya misi politik keagamaan dalam mitologi Maya Danawa ini. ”Dengan mitologi ini kemudian muncul keyakinan, bahwa Galungan harus dirayakan. Berarti apa yang diinginkan pembuat mitologi ini berhasil mencapai targetnya,” sebutnya. Ia pun menegaskan, persetruan sekte yang telah disintesiskan Mpu Kuturan menjadi Tri Murti Paksa kenyataannya belum mengakhiri persaingan tersebut secara sempurna. ”Persaingan sekte itu terus berlanjut dengan mengambil saluran atau media baru, salah satunya lewat karya sastra,” jelas Weda Kusuma yang telah meneliti secara khusus kakawin Usana Bali yang bercerita tentang Maya Danawa.<br /><br />Jadi, Maya Danawa benar-benar mahluk maya, ia hasil ilusi dengan membawa misi-misi khusus penulisnya. Jadi, mengapa terjebak mitos-mitos? </span></span><em><a target="_blank" href="http://help.blogger.com/bin/answer.py?answer=42197">more</a></em></p></td></tr></tbody></table><br /><a href="http://okanila.brinkster.net/raditya/Radityafull.asp?ID=186"><br />SUMBER</a>Keluarga Besar Bhujangga Waisnawahttp://www.blogger.com/profile/10952693366980852246noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1535022042609233981.post-23943370033992042822008-09-12T00:34:00.000-07:002008-09-12T00:35:31.326-07:00The History of UbudThose words, written almost half century ago, could still be written today. Even though enormous changed have occurred on the island in the past twenty-five years, particularly in the tourist enclaves which include Ubud, there is still a feeling of balance that prevails. Ubud is indeed one of Bali's many gems.<br /><br />In the beginning Ubud itself was originally a small portion of land centred around Campuhan (meaning 'rivers meeting') and the puta (temple) Gunung Lebah. Yet Ubud, as it is known in the 21<sup>st </sup>century, spans many villages and is a kecamatan (district), and kelurahan (sub-district), as well as a desa (village).<br /><br />In the West, history consists of tangible events and things that can be recorded. In Bali, history and life itself consists of the seen or conscious world (sekala) and the invisible or psychic realm (niskala) and Balinese are able to move between there two worlds with easy. One could not exist without the other. Therefore, some of the tales about to be told may seem fantastical to the visitor, but to the Ubudians it is a part of their history. Magic keris (daggers), cannibalistic giants and coin-sprouting trees may serve as allegories but they also stand on their own, as you shall soon see.<br /><br /><div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOBlWUChY0JbD9WsXDrzq_2-ncw1tsc8-aKS-s3doV9CKOepLQ6C_UGtd4mn2905DnjyiUJfa4lobIr-YjZguGm44gpslyxOQS-uE1GVwPj6DY-IW_VcJH8MKRvkLsHaGAr0cRXHVHU6Q/s1600-h/Bali+lontar.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOBlWUChY0JbD9WsXDrzq_2-ncw1tsc8-aKS-s3doV9CKOepLQ6C_UGtd4mn2905DnjyiUJfa4lobIr-YjZguGm44gpslyxOQS-uE1GVwPj6DY-IW_VcJH8MKRvkLsHaGAr0cRXHVHU6Q/s400/Bali+lontar.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5207661118136818482" border="0" /></a><span style="font-size: 85%;"><span style="font-style: italic;">A lontar (traditional palm leaf book)</span></span><br /></div><br />Almost all sources begin Ubud's history with the coming of the great Hindu Indian mystic sage, Rsi Markandya in the 8<sup>th</sup> century. A <span style="font-style: italic;">lontar</span> (traditional palm leaf book) called the Markandya Purana describes how he spread Hinduism throughout Bali. He had been told to journey east from Mount Raung in Java and to convert the inhabitants of Bali to Hinduism. Bali had a reputation of being filled with dangerous spirits and many travellers never returned. walking through Java, he made his way to Bali with 800 followers. His goal was the holy mountain of Gunung Agung, where Besakih temple stands today. However, his followers succumbed to a cholera epidemic and, in fear for their health and safety, he took those who survived back to Java.<br /><br /><div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8lJxAac-Ae9rEfLcyI71e7MwIOSB1-mcOMNiO-5V1iTy1jaMdFlx0Iuz90Me3i9HEO158yFvThzGbf1TLQsVQ-F_IKZHtJRgfD2qVAxkuUYeblglKYWVVflUWr5Y94bsaMEAU-Gwto3c/s1600-h/pura+gunung+lebah.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8lJxAac-Ae9rEfLcyI71e7MwIOSB1-mcOMNiO-5V1iTy1jaMdFlx0Iuz90Me3i9HEO158yFvThzGbf1TLQsVQ-F_IKZHtJRgfD2qVAxkuUYeblglKYWVVflUWr5Y94bsaMEAU-Gwto3c/s400/pura+gunung+lebah.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5207671444048458578" border="0" /></a><span style="font-style: italic; font-size: 85%;">The temple of Pura Gunung Lebah in Campuhan, on the fringes of Ubud.</span><br /></div><br />While in Java, he received a divine revelation that he was to return to Bali and bury panca dhatu (five precious metals which are buried under temples to give them more power) at the place where Besakih temple is today. he returned with four hundred followers. From there, he was drawn to a place in the central part of the island which was pulsing with light and energy: Campuhan, Ubud. Here, where two branches of the Wos River (named Lanang and Wadon, or male and female) meet in a confluence, he settled, meditated and built the temple Pura Gunung Lebah (Low Mountain temple). These two rivers swirl around each other as two naga (dragons or serpents) might do. The naga in the Balinese belief system symbolise all that sustains humanity: shelter, food and housing and, of course, spiritual sustenance. The water in the Western branch of the river is used for holy water in local temple festivals and the water in the Eastern branch is used for cleansing oneself; both physically and metaphysically.<br /><br />Rsi Markandeya founded many temples along the Wos River. In the most northern part of his journey, he built the first (some claim) Hindu temple on the island: Pura Gunung Raung (later named Pura Agung) in the village of Taro. Just north of here in the village of Puakan (Pa-subak-an) the sage created the unique irrigation system for rice fields called subak and divided up the lands among the small populace at that time. He is also credited with the formation of the banjar (hamlet, subdivision of a village) and desa (village) systems.<br /><br />The Balinese philosophy of Tri Hita Kirana, the relationship of humans with their environment (subakor rice fields), humans with each other (banjar or hamlet) and witht he Supreme Being (desa ot village, represented by the three main village temples) was first established here by Rsi Markandeya. Subsequent sages and priests have developed and expounded upon this but this was the foundation of Balinese Hinduism in its purest form, called appropriately Agama Tirta or 'Religion of Holy Water'.<br /><br />Campuhan is indeed a special centre of power. People have been meditation here for centuries and bathing in its curative waters which spurt out of pancoran or fountains along the river banks. In 1961, this site was chosen as the place to form a religious body recognized by the Indonesian government and known today as Parisadha Hindu Dharma Indonesia, a symbolic tribute to Rsi Markandeya's founding of Hinduism in Bali over a millennium before.<br /><br />The name Ubud is derived from the word 'ubad', meaning medicine, and refers to the myriad variety of healing plants found along this riverside and in the surrounding environs.<br /><br /><a href="http://indonesiacultural.blogspot.com/2008/06/historic-ubud-bali.html">SUMBER</a>Keluarga Besar Bhujangga Waisnawahttp://www.blogger.com/profile/10952693366980852246noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1535022042609233981.post-83353814720143500712008-09-12T00:31:00.000-07:002008-09-12T00:34:26.382-07:00NYANYIAN/GITA UNTUK PIODALANyanyian, kidung, kirtana, bajan, dsb adalah persembahan para bhakta kepada Tuhan dengan menyanyikan lagu-lagu suci. Menyanyikan lagu-lagu seci dengan penuh rasa ketulusan, rasa bhakti dan rasa sujud adalah salah satu dari 9 cara bhakti (Nawa Bhakti) kepada Tuhan selain dengan cara SRAVANA, mendengarkan kisah-kisah suci, SMARANA, merenungkan Tuhan, PADASEVANA, memuja kaki Tuhan, ARCHANA, memuja didepan wujud/simbol Tuhan (arca) VANDANA, menyebut-nyebut nama Tuhan atau japa mantra, DASYA, menganggap diri sebagai pelayan Tuhan, SAKHYA, menganggap diri sebagai sahabat Tuhan, ATMA NIVEDA, penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Tidak semua lagu disebut lagu suci, tapi yang mengandung nama-nama Beliau, ayat-ayat suci/suatu mantra, pengagungan, pujian, dan sebagainya. <p>Nyanyian yang akan kami persembahkan ini memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut:</p> <p>Pertama, bukan sekedar lagu, tapi benar-benar lagu suci sebab merupakan mantra yang dilagukan, mengandung pujian kepada nama/gelar Tuhan seperti: Siwa, Ganesha, Durga, Saraswati, dan sebagainya. Jadi sambil bernyanyi para bhakta sekaligus melakukan Japa mantra dan juga merasakan getaran/vibrasi dari Dewa yang dilagukan tersebut. Untuk itu para bhakta tentunya bernyanyi dengan sungguh-sungguh, penuh perasaan dan rasa tulus seakan-akan Dewa yang bersangkutan hadir di depan para pemuja/penyanyi.</p> <p>Kedua, lagu-lagu tersebut menggunakan Bahasa Sansekerta, yaitu bahasa yang digunakan dalam Veda, kitab suci agama Hindu. Sambil menyanyi, para umat dapat belajar mengenal kata-kata Sansekerta: cara pengucapan, arti/maknanya. Lambat laun umat tidak takut lagi belajar Mantra yang pada umumnya berbahasa Sansekerta.</p> <p>Ketiga, lagu-lagu tersebut berirama seperti dangdut dan pop, sehingga akan memudahkan bagi umat untuk belajar dan menyanyikannya. Begitupula umat seperti anak-anak muda akan dengan mudah untuk tertarik menyanyikannya. Perlu kita ingat bahwa irama dangdut yang banyak disukai orang banyak memperoleh pengaruh dari lagu-lagu India.</p> <p>Ke-empat, lebih universal dan sebagai sarana pemersatu. Tidak seperti kidung-kidung suci selama ini yang lebih banyak berbahasa Bali (halus) dan Jawa Kuno yang tentunya lebih sulit bagi suku-suku lain, sperti suku Jawa, Dayak, India dan sebagainya. Mereka tentu agak sukar merasakan getaran dari lagu tersebut. Orang Bali saja yang tinggal di luar Bali, terutama yang dibesarkan di luar Bali akan sulit untuk mempelajari dan mengartikan lagu atau kidung tersebut. Apalagi banyak yang mampu menyanyikan, tapi tidak tahu arti dan maknanya. Dengan lagu-lagu yang berbahasa Sansekerta ini, maka diharapkan menjadi sarana persatuan atau lagu standar bagi seluruh umat Hindu dimanapun dan suku apapun mereka. </p> <p>Alangkah baiknya agar kita tidak cepat-cepat apriori dengan menuduh ke India-Indiaan dan sebagainya. Kita lupa bahwa budaya (Bali) khususnya seperti lukisan, bangunan, tarian, dan sebagainya banyak memperoleh pengaruh dari luar terutama sekali India dan Cina. Kita sering lupa bahwa berbagai karya kidung, kekawin, cerita, dsb yang didasarkan pada kisah Mahabharata dan Ramayana dan ingatlah pula bahwa agama Hindu berasal dari India ! Kita sering menolak beribadat dengan cara yang ”katanya” ke India-Indiaan, tapi kita sangat senang dengan film India dan dangdut. Maha Rsi Markandeya yang menanam panca datu pembangunan Pura Besakih konon berasal dari India.<br />Begitupula adanya tuduhan bahwa berbagai lagu dan mantra adalah milik suatu aliran atau sampradaya, apakah itu Krishna, Siwa, Sakti, dan sebagainya. Kita lupa bahwa ”aliran Hindu” Bali (Indonesia), juga merupakan salah satu sampradaya/aliran Hindu dengan ajaran Siwa Sidhanta (bersumber di India Selatan), sebagai inti yang bercampur dengan berbagai aliran/sampradaya seperti: Sakti/Tantra, Ganapati, Surya/Sora, Wisnu, dan sebagainnya. Di Dunia Hindu, orang Bali adalah minoritas, jadi di Dunia, Sampradaya Hindu di Bali adalah minoritas dan sementara saat ini kita sedang berada pada era Globalisasi ! <br />Mudah-mudahan kita bisa terbuka dan berpikir jernih dan lebih mengedepankan ke Hinduan dari pada adat yang selalu berubah. Gandhi mengatakan hendaknya kita berenang di atas adat/budaya, bukan tenggelam didalamnya. </p> <p>Berikut adalah Lagu-Lagu yang Dinyanyikan: </p> <p>1. Lagu pendahuluan sebagai pemujaan kepada Dewa Ganesha/Betara Gana</p> <p>OM WAKRATUNDA MAHA KAYA<br />SURYA KOTI SAMA PRABHA<br />NIRWIGUNA GURUME DEWA<br />SARVA KARYESHU SARWADA</p> <p>(Artinya: Tuhan dalam wujud Dewa Ganesha / Betara Gana yang memiliki cahaya setara dengan sejuta bintang, semoga Engkau menghancurkan semua penghalang dan semoga semua karya berhasil)</p> <p><br />3. Lagu ini ditujukan sebagai pujaan kepada Dewa Gana, yang biasanya dipuja pertama kali sebelum Dewa lainnya. Sebab Beliau adalah Dewa penghancur semua penghalang, peminpin para Gana (makhluk gaib) dan pendorong keberhasilan. </p> <p>GANESHA SARANAM, SARANAM GANESHA )<br />SAISHA SARANAM SARANAM SAISHA </p> <p>(Artinya: Sujud dan pasrahkan diri ke kaki Tuhan dalam wujud Dewa Ganesha)</p> <p><br />4. Lagu ini ditujukan kepada Tuhan sebagai GURU</p> <p>JAYA GURU OM KARA JAYA JAYA SAD GURU OM KARA OM<br />BRAHMA WISNU SADHA SIWA<br />HARA HARA HARA HARA MAHADEWA OM...</p> <p>(Artinya: Jayalah ! Aksara suci OM, Jayalah Guru Tertinggi: Brahma, Wisnu dan Sadha Siwa. Hara dan Mahadewa adalah nama atau gelar dari Dewa Siwa).<br /><br />5. Lagu persembahan kepada Dewi Durga (Uma, Parwati), Laksmi dan Saraswati. Manifestasi Tuhan sebagai kekuatan wanita yang penuh welas asih dan penganugerah.</p> <p>JAYA DURGA LAKSMI SARASWATI SAI JAGANMATA<br />SAI JAGAN MATA MAM PAHI JAGANMATA</p> <p>(Artinya: Jayalah Ibu Dewi Durga/Uma (penganugerah kasih sayang dan perlindungan), Dewi Laksmi (penganugerah kemakmuran) dan Dewi Saraswati (pengetahuan dan kesenian). Engkaulah penguasa Bhuwana/Dunia, Oh Ibu, lindungilah hamba !)</p> <p><br />6. Lagu pujaan kepada Dewa SIWA</p> <p>OM NAMA SIWA YA SIWA YA NAMA OM </p> <p>SIWA SIWA HARA HARA HARA YA NAMA OM<br />HARA HARA SIWA SIWA SIWA YA NAMA OM<br />HARA HARA MAHADEWA </p> <p>(Artinya: Om Nama Siwa ya adalah mantra utama untuk memuja (Japa mantra) Siwa. Hara dan Mahadewa adalah gelar dari Siwa sebagai Dewa tertinggi.)</p> <p>SAMBO MAHADEWA SIWA SAMBO MAHADEWA<br />HARA HARA YA BAWA BAWA YA SIWA SIWA YA NAMO NAMO<br />OM NAMA SIWAYA OM ..... OM NAMA SIWAYA OM</p> <p>(Artinya: sambut dan sujudlah kepada Dewa Siwa dan rapalkan mantra: Om Nama Siwa ya).</p> <p>7. Lagu PENUTUP </p> <p>OM SRI RAM JAY RAM JAY JAY RAM<br />SITA RAM SITA RAM SITA RAM<br />RADESYAM RADESYAM RADESYAM </p> <p>Artinya: Jayalah Ram, (wujud Tuhan yang merupakan gabungan dari dua mantra suci Om Nama Siwa ya dan Om Namo Narayana ya).</p><p><a href="http://www.peradah.org/artikel.php?id=4&action=detail&penulis=I%20Made%20Sugi%20Ardana&organisasi=Dewan%20Pimpinan%20Nasional">SUMBER </a><br /></p>Keluarga Besar Bhujangga Waisnawahttp://www.blogger.com/profile/10952693366980852246noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1535022042609233981.post-88565595884373837032008-09-12T00:00:00.000-07:002008-09-12T00:03:10.031-07:00Asal Muasal Penyebutan Nama “BALI”Kedatangan seorang Maha Rsi Markandeya abad ke-7 memberikan pengaruh yg besar kepada kehidupan penduduk Bali. Beliau adalah seorang pertapa sakti di Gunung Raung, Jawa Timur. Suatu hari beliau mendapat bisikan gaib dari Tuhan untuk bertempat tinggal di sebelah timur pulau Dawa (pulau Jawa sekarang-red). Dawa artinya panjang, karena memang dulunya pulau Jawa dan Bali menjadi satu daratan. Dengan diikuti oleh 800 pengikutnya, beliau mulai bergerak kearah timur yg masih berupa hutan belantara. Perjalanan beliau hanya sampai di daerah Jembrana sekarang (Bali Barat) karena ¾ pengikut beliau tewas dimakan harimau dan ular-ular besar yg menghuni hutan. Akhirnya beliau memutuskan kembali ke Gunung Raung untuk bersemadhi dan mencari pengikut baru. Dengan semangat dan tekad yg kuat, perjalanan beliau yg kedua kalinya sukses mencapai tujuan di kaki Gunung Agung (Bali Timur) yg sekarang disebut Besakih. Sebelum pengikutnya merabas hutan, beliau melakukan ritual menanam Panca Dhatu berupa 5 jenis logam yg dipercayai mampu menolak bahaya. Perabasan hutan sukses, tanah-tanah yg ada beliau bagi-bagi kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tegalan, rumah dan tempat suci yg dinamai Wasukih (Besakih). Disinilah beliau mengajarkan agama kepada pengiringnya yg menyebut Tuhan dengan nama Sanghyang Widhi melalui penyembahan Surya (surya sewana) 3 kali dalam sehari dengan menggunakan alat-alat bebali yaitu sesajen yg terdiri dari 3 unsur benda: air, api, bunga harum. Ajaran agamanya disebut agama Bali. Lambat laun para pengikutnya mulai menyebar ke daerah sekitar, sehingga daerah ini dinamai daerah Bali, daerah yg segala sesuatunya mempergunakan bebali (sesajen).<br /><br />Bisa disimpulkan bahwa nama Bali berasal dari kata BEBALI yg artinya SESAJEN. Ditegaskan lagi dalam kitab Ramayana yg disusun 1200SM: “Ada sebuah tempat ditimur Dawa Dwipa yg bernama Vali Dwipa, dimana disana Tuhan diberikan kesenangan oleh penduduknya berupa bebali (sesajen)â€Â. Vali Dwipa adalah sebutan untuk Pulau Vali yg kemudian berubah fonem menjadi Pulau Bali atau pulau sesajen. Tidak salah memang interpretasi ini melihat orang Bali yg memang tidak bisa lepas dari sesajen dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.<br /><br /><a href="http://baliguide.biz/?p=287">SUMBER</a>Keluarga Besar Bhujangga Waisnawahttp://www.blogger.com/profile/10952693366980852246noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1535022042609233981.post-53592092352544073402008-09-11T23:56:00.001-07:002008-09-11T23:58:09.434-07:00SUNYA DAN KE-SUNYATA-AN<span class="verdana14point"></span><span class="verdana12point"></span><span class="verdana8point"><br /><br />Ketiga kata ini amat sering kita dengar, baca bahkan gunakan dalam konteks filsafat atau spiritual. Sunya misalnya; sering diterjemahkan sebagai 'kekosongan'. Kekosongan mengandung pengertian sifat atau kondisi yang abstrak, yang tidak dapat dipersamakan dengan nihil atau nol, oleh karena nol merupakan besaran kwantitatif; sedangkan 'kekosongan' lebih bersifat kwalitatif.<br /><br />Suatu wadah bila tak berisi kita sebut 'kosong', atau tidak ada yang mengisinya. Jadi, kosong tidak mengandung pengertian kwantitatif atau numerikal. Kekosongan, merupakan abstraksi dari kondisi wadah yang kosong tersebut. Ia tidak bersifat atau berkwalitas, yang bersifat atau berkwalitas adalah isinya. Sebuah contoh dalam hal ini adalah 'gelas kosong', menurut persepsi umum ini bermakna tanpa isi; akan tetapi bagi para ilmuwam (fisikawan) tidak demikian. Gelas kosong bagi fisikawan berisi, namun isinya tak tampak oleh indrya pengelihatan kita yaitu udara atau gas. Gas tertentu berbau, jadi bisa dideteksi indrya penciuman, namun banyak gas yang tidak berbau sehingga tak terlihat dan tercium. Bahkan ada gas yang tak mudah dipengaruhi oleh suhu udara sekitarnya, sebaliknya ada yang amat mudah beradaptasi dengan udara sekitar. Gas jenis terakhir ini, tentu lebih sulit lagi kita deteksi keberadaannya dalam gelas kosong tadi.<br /><br />Jadi, kita ketahui atau tidak sebetulnya gelas tersebut tidak 'kosong'. Gas di dalamnya mempunyai sifat, bobot, terkadang warna, bau, volume dan besaran lainnya. Jadi 'kekosongan' dalam hal ini, lebih tepat bila disebut 'kehampaan bahkan tanpa aktivitas mental'; inilah yang dimaksudkan dengan 'Sunya'. Bila demikian, jelas ia tak sama dengan sunyi atau sepi, seperti anggapan kita selama ini (secara tidak sadar).<br /><br />Di dalam dunia IPTEK, telah diadakan serangkaian percobaan-percobaan mahal untuk mengetahui keistimewaan dari kehampaan. Percobaan ini membutuhkan kondisi ideal yang nir-gravitasi, sehingga mesti diadakan di luar angkasa (outer-space) di dalam laboratorium pesawat ulang-alik (space-shuttle). Apa yang ditemukan dari percobaan-percobaan tersebut? Secara garis besar diketahui beberapa prinsip dari sifat kondusif kehampaan terhadap:<br />* Pertumbuhan makhluk hidup; di mana makhluk hidup tumbuh dan berkembang lebih cepat dengan amat mengagumkan, dan<br />* Reaksi kimia menjadi lebih sempurna, yang tidak dapat dicapai di tempat manapun di bumi.<br /><br />Dua hal penting itulah yang perlu kita garis bawahi dari hasil penelitian fisis dan khemis dalam kehampaan (tanpa bobot, substansi dan aktivitas). Pengkondisian di luar angkasa tentu amat ideal, dimana hampir tak (belum) mungkin dibuat oleh manusia kini. Dalam dunia spiritual, temuan IPTEK ini mengindikasikan hal yang kurang lebih serupa pada kita yaitu : melalui kehampaan dapat capai pengembangan batin yang mengagumkan dan bisa dikatakan mendekati sempurna.<br /><br />Fenomena ini sebetulnya telah ditangkap, dipahami bahkan telah diperaktekan oleh para Rsi, pertapa dan Yogi dahulu. Beliau bertapa di gunung (tempat tinggi)1, yang dalam fisika diketahui bahwa semakin tinggi suatu tempat maka semakin kecil gravitasi bumi dan tekanan udara (mendekati kehampaan fisis hingga tahap tertentu). Rupanya beliau memahami kondisi ideal serupa ini. Dalam babad Arya Kenceng (Tegeh Kori), I Gusti Ketut Bendesa setelah bertapa-bhrata-Yoga-Samadhi di Gunung Batur, mendapat 'panugrahan' dari Bhatari Batur.<br />Nararya Kenceng dalam perjalanan pulang ke Majapahit singgah dan beryoga di Gunung Batukaru di mana beliau memperoleh petunjuk dari Sanghyang Embang untuk tidak kembali ke Majapahit (ketika itu Majapahit telah jatuh ke tangan pasukan muslim di bawah Sunan Giri Cs.), sehingga akhirnya beliau putuskan untuk menetap di Bali. <span style="font-weight: bold;">Rsi Markandeya</span> sebelum ke Bali, menerima wahyu di Gunung Raung; dan banyak lagi kisah-kisah pertapaan para suciwan dan leluhur yang mengambil tempat di gunung. Kiranya semua itu sekurangnya merupakan petunjuk dan sekaligus bukti betapa kondusifnya kondisi fisis yang mendekati kehampaan dalam peningkatan dan pengembangan spiritual.<br /><br />Kisah-kisah atau mithologi kuno, yang seringkali kita remehkan dan anggap hanya dongeng sebelum tidur (bobok), ternyata menyimpan petunjuk penting dalam pelaksanaan Yoga-Samadhi. Satu hal yang tersirat dari penelitian luar angkasa tentang kehampaan adalah posisi kontelasi benda-benda langit yang sedemikian rupa sehingga amat ideal dan kondusif. Mengenai hal ini juga telah disadari oleh para pendahulu kita melalui pemilihan hari raya Nyepi, Çiwa-Ratri, Saraswati, Banyu-Pinaruh, Pagerwesi, Galungan Nadhi dan lain-lain, yang pada prinsipnya sangat dianjurkan sebagai hari baik untuk melaksanakan Yoga-Samadhi.<br /><br />Bagi generasi muda kita, mungkin sekali ini dipandang sebagai takhyul yang hanya bikin seram saja. Ini dapat dimaklumi karena keterbatasan pemahaman dan terutama pengalaman mereka. Praktek Tapa-Bhrata-Yoga-Samadhi (Yoga Sadhana) amat membutuhkan ketekunan, arah dan tujuan yang jelas serta bimbingan seorang Ghuru. Ghuru, dapat memberi pandangan serta membagi pengalaman beliau pada kita. Pengalaman dalam pelaksanaan Yoga-Sadhana amatlah berharga dan tak akan pernah kita dengar di radio atau tonton di TV; ia diturunkan dari Ghuru kepada siswa (sisya) secara tradisional. Jadi, jelas ia merupakan pengetahuan khusus yang tidak dengan mudah diketahui oleh sembarang orang.<br /><br />Di sinilah tampak permasalahan kita, yang timbul dari keterbatasan kita sebagai manusia. Kita amat cenderung keburu nafsu untuk memahami sesuatu, kemudian serta merta merasa faham padahal apa yang dimaksud jauh dari apa yang kita pahami. Bila pandangan kita terbentuk dengan cara seperti ini, maka inilah yang disebut 'pandangan keliru (micca-ditthi)'. Ada disebutkan 'keburu nafsu'; rupanya inilah yang menjadi masalah kita dalam memahami sesuatu. Apakah itu pengetahuan umum (keduniaan), maupun Agama. Kita amat 'mudah percaya' pada keterbatasan persepsi kita. Sunyata, berasal dari Sunya-atta; dimana tambahan 'atta' memberi pengkondisian dari 'sunya'. Sehingga 'sunyata' menyatakan kondisi dari 'sunya'.<br /><br />Bila demikian, apakah 'Kesunyataan' itu? Sunyata yang berawalan 'ke', menggambarkan abstraksi dari Sunyata. Ia menggambarkan keberadaan dari Sunyata secara abstraktif yang sebetulnya sulit untuk digambarkan dengan kata, dan lebih bersifat pengalaman empiris metafisik (astral). Kesunyataan sebetulnya mesti kita pahami melalui perenungan dan pengalaman empiris, tanpa cara seperti itu kita hanya menerka-nerka dan menghayalkannya, dimana hal itu amat jauh dari 'Kesunyataan' seperti 'apa adanya'. Dalam dunia spiritual, banyak hal-hal yang amat sulit diungkapkan secara verbal maupun tulisan.<br /><br />Apa yang kita dengar atau baca, hanyalah petunjuk jalan; tidak lebih dari itu. Suatu petunjuk tak pernah akan mengantar kita ke tujuan bila tanpa dijalani secara langsung, oleh karenanya amat beralasan bila Yoga juga dipersamakan dengan Marga (Magga-bhs.Pali). Penggambaran seperti yang kita coba ini pun sering menimbulkan salah pengertian (tafsir), karena menimbulkan kesan seolah bersinonim dengan 'kekosongan' bahkan lebih jauh lagi bisa menimbulkan pengertian yang identik dengan 'kenyataan' (realitas).<br />Ada pula yang mendekatinya melalui istilah 'Realitas-absolut'. Sebetulnya penyebutan adalah sah-sah saja mengingat keterbatas kata-kata dalam mengungkap sesuatu yang (hampir) tak mungkin diungkap dengan kata-kata.<br /><br />Memang mesti kita akui betapa terbatasnya pemahaman kita yang antara lain disebabkan oleh karena kita cenderung keburu nafsu, mudah percaya dan suka ikut campur2. Kencendrungan tersebutlah yang membatasi kita, ia juga sering kali menimbulkan salah faham yang akhirnya menimbulkan pertikaian, permusuhan dan bahkan peperangan. Bila telah begini jadinya, tentu tak ada lagi yang disebut 'kedamaian'.<br /><br />Yang lebih penting adalah bagaimana pengetahuan kita akan ajaran, telah kita pahami dengan benar untuk kemudian dijadikan kemudi dalam mengarungi samudra 'Samsara'. Inilah inti dari ajaran para Orang Suci pendahulu kita. Setiap petunjuk yang beliau berikan membutuhkan suatu perenungan hingga kedalaman tertentu. Yang jelas dibutuhkan sekurang-kurangnya sedikit waktu untung menenangkan batin kita terlebih dahulu (heneng-bhs.Bali) sebelum dapat memandangnya dengan jernih, netral dan tanpa pretensi.<br /><br />Sebagai ilustrasi dan penutup dari tulisan singkat ini, saya sunting bait yang amat populer dari Dharma-Sunya, karya dari Danghyang Nirartha sebagai berikut3:<br /><br />"Ketika batin telah hening, ia semakin halus dan cemerlang,<br />kemudian menyusuplah ke alam sunya, alam maha sempurna yang tak terlukiskan,<br />pikiran bagai melingkupi dan menyusupi seluruh semesta dan tida terbatas,<br />demikianlah batin Sang Wiku ketika telah lebur di alam Samadhi".<br /><br />Semoga tulisan ini cukup layak untuk sekedar menambah koleksi pandangan dan dijadikan bahan perenungan ke dalam batin4. Semoga setiap makhluk mencapai pandangan Sunyata dan memcapai Kesunyataan secepatnya.<br /><br /><br /><br />Denpasar, 20 Pebruari 1999.<br /><br />anatta-bali<br />----------------------------------------------------------------------------------------<br />1 Hyang Çiwa Natharaja, yang disebutkan sebagai pencetus sistem Yoga, bertapa di puncak Gunung Kailesa (peg.Himalaya) pada kira-kira 7000 tahun yang lalu (sumbernya saya lupa).<br />2 petunjuk dari seorang Wiku pada bulan Januari 1998.<br />3 disunting dari Ida Bagus Gde Agastya, Nyepi: Surya dan Sunya - Warta Hindu Dharma No.373, April 1998.<br />4 dalam Asthangga-Yoga disebut 'Pratyahara'.<br /><br /><a href="http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/486.htm">Sumber </a><br /></span>Keluarga Besar Bhujangga Waisnawahttp://www.blogger.com/profile/10952693366980852246noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1535022042609233981.post-90641589282395707382008-09-11T23:54:00.000-07:002008-09-11T23:56:27.104-07:00Pura Pulaki, Tempat Suci Peninggalan Prasejarah<p class="MsoPlainText"><b> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><br /><br /> </span></b><span style="font-family: Trebuchet MS;"></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> <img src="http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/1/18/ajeg.bali2.JPG" width="161" align="left" border="0" height="103" />Sulit ditampik, lingkungan Pura Pulaki adalah sebuah kawasan suci yang bisa disebut sangat sempurna. Selain memiliki pemandangan alam menakjubkan, aura religius dan kesucian yang berpendar di kawasan pura dan sekitarnya akan terasa jelas, seakan masuk di sela pori-pori kulit. Sebagian umat yang sempat sembahyang ke pura itu bahkan kerap mengaku bulu tipis di lehernya sesekali akan tegak. Mungkin karena takjub yang berlebihan pada keindahan alamnya atau amat terkesan pada aura religius yang dirasakannya. </span></span></p> <p class="MsoPlainText"><b> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> PURA</span></span></b><span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> Pulaki berdiri di atas tebing berbatu yang langsung menghadap ke laut. Di latar belakangnya terbentang bukit terjal yang berbatu yang hanya sekali-sekali saja tampak hijau saat musim hujan. Pura ini tampak berwibawa, teguh dan agung, justru karena berdiri di tempat yang teramat sulit. Apalagi pemandangan yang ditampilkan begitu menawan. Jika berdiri di dalam pura lalu memandang ke depan, bukan hanya laut yang bakal tampak namun juga segugus bukit kecil di sebelah baratnya yang berbentuk tanjung. Kera-kera yang hidup di sekitar pura ini, meski terkesan galak, juga menciptakan daya tarik tersendiri.</span></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> Pura Pulaki terletak di Desa Banyupoh Kecamatan Gerokgak, Buleleng, sekitar 53 kilometer di sebelah barat kota Singaraja. Pura ini terletak di pinggir jalan raya jurusan Singaraja-Gilimanuk, sehingga umat Hindu akan selalu singgah untuk bersembahyang jika kebetulan lewat dari Gilimanuk ke Singaraja atau sebaliknya. Namun jika ingin bersembahyang secara beramai-ramai, umat bisa datang saat digelar rangkaian piodalan yang dimulai pada Purnama Sasih Kapat. Sejarah Pura Pulaki memang tak bisa dijelaskan secara tepat. Namun, dari berbagai potongan data yang tertinggal, sejarah pura itu setidaknya bisa dirunut dari zaman prasejarah. </span> </span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> <img src="http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/1/18/ajeg.bali1.JPG" width="170" align="left" border="0" height="108" />Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba mengatakan, jika mengacu pada sistem kepercayaan yang umum berlaku di Nusantara -- sejak zaman prasejarah gunung senantiasa dianggap tempat suci dan dijadikan stana para dewa dan tempat suci para roh nenek moyang -- maka diperkirakan Pura Pulaki sudah berdiri sejak zaman prasejarah. Hal ini merunut pada konsep pemujaan Dewa Gunung, yang merupakan satu ciri masyarakat prasejarah. Sebagai sarana tempat pemujaan biasanya dibuat tempat pemujaan berundak-undak. Semakin tinggi undakannya, maka nilai kesuciannya semakin tinggi. "Seperti Pura-pura di deretan pegunungan dari barat ke timur di Pulau Bali ini," kata Simba.</span></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> Di kawasan Pura Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang dibuat dari batu, antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat lain. Berdasar hal itu, dan dilihat dari tata letak dan struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak. </span> </span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang sangat diperlukan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku. Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah ada berlaku perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan hingga kini masih ditemukan tanaman lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.</span></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> Dari uraian itu, kata Simba, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut hingga peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki dan Wangaya. </span></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> Menurut Simba, Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan agama Hindu sekte <span style="font-weight: bold;">Waisnawa</span> sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku ''Bhuwana Tatwa <span style="font-weight: bold;">Maharesi Markandeya</span>'' susunan Ketut Ginarsa. Data lain yang menyebut tentang Pulaki terdapat juga dalam buku ''Dwijendra Tatwa'' karangan Gusti Bagus Sugriwa. Di situ ada tertulis, "Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki." </span></span> </p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> Data lain tentang Pulaki adalah ditemukannya potongan candi yang bentuknya seperti candi yang ada di Kerajaan Kediri. Ditemukan di Pura Belatungan tahun 1987. Dari data itu, maka kesimpulannya keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirarta dengan peristiwa dipralinakannya Pura Pulaki sekitar 1489 Masehi. Keberadaan Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak 1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. Namun sebelum itu, dari kurun waktu zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Batara Dang Hyang Nirarta tahun 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga dengan Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai yang berwarna merah, hitam dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki. </span></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> </span></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> Dipugar</span></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> Suatu daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan hanya dihuni binatang buas, babi hutan, harimau, banteng dan lain-lainnya. Kendati begitu, menurut Simba, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya masih tetap setia ngaturang bhakti kepada Batara di Pulaki dengan naik perahu dari Kalisada. Namun saat itu Pura-pura itu sudah tak ada lagi, sehingga pemujaannya dilakukan pada batu-batu yang ada di sekitar Pura Pulaki yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini. </span></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> Untuk itu, Simba menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat pengayatan karena warga tak berani masuk ke dalam hutan. "Karena tempat ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin masuk ke pedalaman," katanya. </span></span> </p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> Tahun 1920 Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What. Kawasan itu kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950 yang selanjutnya dilakukan pemugaran-pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu. Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950. </span> </span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> Menurut Simba, Pura Pulaki dan pesanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatungan, Pura Puncak Manik dan Pura Pemuteran, tak bisa dipisahkan. Dilihat dari 7 lokasi Pura-pura tersebut dan sesuai konsep Hindu hal itu termasuk konsep sapta loka, yakni konsep tentang sapta patala, yakni 7 lapisan alam semesta.</span></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;">* adnyana ole</span></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> </span></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> </span></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> </span></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> Pulaki dan Sumsum Tulang Itik</span></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> </span></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> SEJARAH Pura Pulaki tak bisa dilepaskan dari tempat-tempat pemujaan lainnya di Bali. Menurut Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba, Buleleng terletak di antara gunung dan laut. Karena jarak pegunungan dan laut sangat dekat maka datarannya yang dimiliki sangat sempit. Ini disebut wilayah nyegara-gunung, suatu daerah yang penuh dengan pusat spiritual dan tempat pemujaan, baik di gunung maupun di tepi laut.</span></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> Ketut Simba menjelaskan, bentuk Pulau Bali itu tak ubahnya seperti seekor itik. Kepala menghadap ke barat berhadapan dengan Jawa, punggung ke utara berhadapan dengan laut Jawa dan Laut Bali, ekornya ke timur menghadap ke Lombok. Sementara leher, tembolok, dada, perut, berhadapan dengan Samudera Hindia. Di bagian punggung Pulau Bali terbentang sederetan daerah pegunungan dari barat, daerah Desa Cekik hingga ke timur di Lempuyang Karangasem sehingga Bali seolah dibelah menjadi dua. Bali Selatan dan Denbukit. Denbukit juga dibagi dua, di mana bagian barat biasa disebut dauh enjung dan dangin enjung, di mana batasnya adalah enjung sanghyang.</span></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> Ekor itik ini punya makna bahwa Bali punya nilai kesucian yang sangat tinggi. Karena itik binatang suci, terbukti jika orang membikin banten (aturan suci), terutama suci gede, maka binatang ini adalah sarana yang sangat menentukan kesucian banten tersebut. Begitu pula pegunungan yang memanjang dari barat ke timur adalah punggung itik, di mana pada tulang punggung mengandung sumsum dan unsur kehidupan pada dimensi spiritual. "Pada tempat inilah ditemukan garis kundalini," katanya. </span></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> Pura-pura yang ditemukan di sepanjang pantai antara lain Pura Bakungan, Pura Teluk Terima, Labuhan Lalang, Pura Gede Pengastulan, Labuhan Aji, Celuk Agung, Penimbangan, Beji, Puradalem Puri, Gambur Anglayang, Kerta Negara Mas, Pojok Batu, Pura Pulaki dengan pesanakannya dan pura lainnya. Sedangkan di pegunungan dari barat ke timur ada Pura Pucak Manik, Pura Bujangga, Asah Danu, Batukaru, Tamblingan, Puncak Mangu, Bukit Sinunggal, Indrakila, Penulisan, Besakih, Gunung Andakasa, Lempuyang dan lain-lain.</span></span></p> <p class="MsoPlainText"> <span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"> Nah, Pura Pulaki yang dibangun pada tempat perpaduan antara daerah pegunungan dan laut atau teluk. Maka tata letak, struktur dan lingkungan Pura Pulaki ini ditemukan unsur antara segara dan gunung yang menyatu.<br /></span></span></p><p class="MsoPlainText"><span style="font-family: Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"><a href="http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/1/18/bd2.htm">Sumber </a><br /></span> </span></p>Keluarga Besar Bhujangga Waisnawahttp://www.blogger.com/profile/10952693366980852246noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1535022042609233981.post-7701072818700831082008-09-11T23:50:00.000-07:002008-09-11T23:53:00.992-07:00Makna Simbolik pada Padmasana<b><span style="font-family:verdana,arial;font-size:100%;color:red;">Makna Simbolik pada Padmasana </span><br /></b> <b><span style="font-family:verdana,arial;font-size:85%;color:#5c5ccf;">Oleh IB Heri J</span></b><br /><br /> TUHAN Yang Maha Esa (Tunggal) atau Hyang Widhi Wasa dipuja oleh umat Hindu melalui beberapa media bangunan suci yang disebut tempat ibadah seperti; Kuil, Candi, Miru, Sanggah ( merajan ) dan "Padmasana." Padmasana adalah bangunan suci dalam pura untuk tempat sembahyang kepada Tuhan Yang Esa dalam aspeknya sebagai Siwa. Dalam tulisan ini akan dijelaskan beberapa makna simbolik pada bangunan Padmasana.<br /><br />Untuk mengetahui makna simbolik dari Padmasana ini, kita meneliti satu persatu hiasan lukisan yang ada pada bangunan padmasana. Kata Padmasana berasal dari kata Padma artinya bungai teratai dan asana artinya sikap duduk, dan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Padmasana berarti; tahta, singgasana, kursi kerajaan. Jadi Padmasana tempat duduk yang menyerupai kursi dari bunga teratai. Mengapa dari bunga teratai? Menurut konsep ajaran Hindu bunga teratai memiliki beberapa keistimewaan antara lain pertama; daun bunga teratai hampir selalu terdiri delapan lembar, tepat sekali dipergunakan sibagai simbol Astaiswarya (delapan dewa yang menguasai delapan penjuru mata angin). Kedua, bunga teratai bentuk mahkotanya berbentuk bulat merupakan simbol Siwa. Ketiga, bunga teratai tumbuh dan berkembang di atas air dengan akarnya didalam lumpur dan bunganya di udara, bunga teratai hidup dalam tiga lapisan yaitu lapisan lumpur, lapisan air, dan lapisan udara. Keempat, bunga padma juga disebut pangkaja yang artinya lahir atau tumbuh dari dalam lumpur. Jadi bunga padma adalah bunga yang bersifat magis yang selalu dikaitkan dengan linggih atau stana Hyang Widhi serta merupakan bunga yang dianggap mempunyai kesucian yang lebih dari bunga yang lain. Bungai teratai ada yang serumpun seperti; bunga kumuda (tunjung) dan Utpala yaitu tunjung yang jenis lebih kecil yang juga mempunyai macam-macam warna dan yang terkenal adalah tunjung biru (nilautpala). Namun jenis bunga tunjung ini jumlah daunnya lebih dari delapan, dan mahkotanya tidak bulat.<br /><br />Padmasana dalam pengertian umum di masyarakat menyebutkan adalah sebuah bangunan yang puncaknya berbentuk kursi dan dibelakangnya berisi lukisan burung angsa, burung Garuda, di tengah-tengah bangunan pada setiap sudut ada patung astadikpalaka ( dewa penguasa delapan penjuru mata angin ), serta dasar bangunan memakai lukisan badawangnala dililit oleh dua ekor naga. Bangunan Padmasana yang lengkap di kelilingi oleh kolam sebagai simbol laut Ksira Arnawa, Padmasana simbol gunung Mandara ( baca Bab V Adiparwa).<br /><br />Lukisan burung Garuda yang menghiasi belakang bangunan Padmasana memiliki makna pertama ; burung Garuda adalah burung yang perkasa di antara jenis burung dan telah berjasa menyelamatkan Amerta (A artinya tidak, mert artinya mati. Amertha adalah air suci kehidupan) dari kekuasaan para raksasa pada waktu pemutaran gunung Mandara di laut Ksirarnawa . Oleh karena itu kalimat yang tepat diucapkan pada saat selesai sembahyang adalah mohon Amerta ( hidup) bukan mohon Merta ( mati). Kedua, burung Garuda berhasil membebaskan keterikatan / perbudayaan duniawi ibunya. (baca Bab V Adiparwa). Ketiga, Burung Garuda merupakan kendaraan (wahana) Dewa Wisnu aspek Tuhan sebagai pemelihara dan penegak kebenaran (Dharma).<br /><br />Lukisan Angsa dibelakang Padmasana memiliki simbolik, pertama, burung angsa adalah kendaraan (wahana ) Dewi Saraswati, sakti Dewa Brahma aspek Tuhan sebagai Pencipta alam semesta beserta segala isinya. Kedua, angsa simbolik dari ketenangan, warna bulunya yang putih simbol kebersihan dan kesucian. Ketiga,burung angsa dalam memilih makanan penuh dengan ketelitian, walaupun mulutnya masuk ke lumpur yang busuk, tetapi bukan lumpur yang dimakan, melainkan hanya makanan yang patut menjadi makanan yang masuk kemulutnya, sebab itu angsa simbolik kebijaksanaan memilih. Keempat, burung angsa simbol kewaspadaan yang tinggi, karena baik siang ataupun malam seolah-olah tidak pernah tidur. Karena angsa memiliki tingkat kewaspadaan yang tinggi, maka sering kita melihat seseorang disamping atau di depan rumahnya memelihara angsa dipakai sebagai penjaga rumah. Kalau ada seseorang masuk ke halaman rumah lebih-lebih malam hari angsa itu tentu berbunyi ribut.<br /><br />Astadikpalaka adalah adalah arca dewa yang menguasai delapan penjuru arah mata angin biasanya ditempatkan di madya (tengah-tengah) bangunan Padmasana. Adapun arca Astadikpalaka itu antara lain : 1) Iswara berkedudukan di Timur dengan busana warna putih senjata Bajra. 2) Mahesora berkedudukan di tenggara busana dadu (merah muda) senjata Dupa. 3) Brahma di Selatan warna busana merah senjata Gada. 4) Rudra di Barat daya warna Jingga senjata Moksala. 5) Mahadewa di Barat warna kuning senjata Nagapasa. 6) Sangkara di Barat Laut warna hijau senjata Angkus. 7) Wisnu di Utara warna hitam senjata cakra dan 8) Sambhu di timur laut warna biru senjata Trisula.Sebagai titik sentralnya adalah Siwa di tengah warna Panca warna senjata Padma.<br /><br /><b><span style="font-family:verdana,arial;font-size:100%;color:red;">Makna Simbolik pada Padmasana (Bagian 2)</span><br /></b> SEBAGAIMANA pada bagian 1 tulisan ini telah disebutkan bahwa di belakang bangunan padmasana ada lukisan burung Garuda dan angsa, dan pada bagian dasarnya ada lukisan Naga yang melilit bedawangnala (lukisan kura-kura bermoncong api) kadang-kadang dilukiskan satu ekor dan ada juga dua ekor naga, dan bahkan sering pula kita melihat pada bagian atas singhasana yang berujud kursi, dimana pada dinding samping kursinya digambarkan berupa dua ekor naga Taksaka bersayap (simbol udara). Bedawangnala adalah simbol panas / api di dalam bumi, ilmu pengetahuan modern menyebutnya dengan nama magma.<br /><p align="justify"><br />Sumber Siwagama dan Sri Purana Tattwa ada disebutkan bahwa setelah bumi diciptakan oleh Tuhan lengkap dengan manusia dan segala isinya, maka pada suatu saat terjadi bencana, dimana tumbuh-tumbuhan mati, air tercemar dan tidak berkasiat, udara yang dihidup oleh mahluk hidup mengandung penyakit, maka Sanghyang Trimurti turun kedunia menyelamatkan manusia. Brahma masuk kedalam perut bumi menjadi Naga Anantabhoga, Wisnu terjun ke samudra menjadi naga Basuki serta Iswara terbang ke udara menjadi naga Taksaka. Adapun tugas masing-masing adalah menyelaraskan dan mengharmoniskan unsur-unsur tanah ( bumi), air dan udara. Simbolik dari cerita itu dapat disimpulkan bahwa bedawangnala atau magma itu dibungkus atau dililit oleh Anantabhoga yaitu kulit bumi, oleh naga Basuki yaitu samudra dan sungai-sungainya serta oleh naga Taksaka yaitu udara. Bilamana unsur-unsur pembentuk alam semesta (makrokosmos) dan badan manusia (mikrokosmos) seperti air, panas, bumi (zat padat), udara dan ether berjalan sesuai dengan hukum alam atau Rta, maka dapat dipastikan kehidupan mahluk dan segala isinya di muka bumi menjadi harmonis. Hubungan manusia dengan Tuhan di bumi diwujudkan dengan membuat Parhyangan (tempat suci) untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan.<br /><br />Padmasana sebagai bangunan yang suci sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia bahkan bangunan itu dipandang bukan saja benda mati, melainkan sebagai benda yang memiliki kekuatan spiritual, karena di dalam bangunan itu telah diisi dengan sarana upacara yang disebut Panca Dhatu. Panca Dhatu adalah lima jenis unsur-unsur logam (Panca dhatu) yaitu: emas, perak, tembaga, timah dan besi. Kelima unsur logam ini dipakai sebagai sarana upacara yang dipergunakan untuk membuat upacara pedagingan atau sarana upacara untuk menghadirkan kekuatan spiritual pada bangunan. Sehingga bangunan tersebut memiliki daya hidup/kekuatan spiritual yang dapat memberikan pengaruh kejiwaan terhadap yang umat Hindu.<br /><br />Selain mengandung simbol mistis, Panca Dhatu juga terkandung sebuah penerapan pengetahuan ilmiah yang bersifat teknis teologis yaitu sebagai penangkal petir. Alasan logisnya adalah Padmasana merupakan bangunan yang paling tinggi di antara bangunan lainnya, dengan demikian mempunyai kemungkinan yang paling besar untuk disambar petir. Sehubungan dengan itu, maka diperlukan pengamanan yang berupa instalasi penangkal petir. Hal ini sangat penting menyangkut keamanan, kenyamanan dan keselamatan umat dalam melakukan sembahyang. Pemasangan instalasi penangkal petir bukan berarti tidak akan disambar petir, petir tetap saja akan menyambar, namun sambaran kilat itu akan segera disalurkan ke tanah, sehingga listrik alam yang bermuatan tinggi itu segera dapat dinetralkan dalam tanah, sehingga bangunan dan segala isinya menjadi terlindung.<br /><br />Pemasangan instalasi penangkal petir pada bangunan Padmasana dilakukan pertama kali oleh <span style="font-weight: bold;">Rsi Markandeya</span> (Rsi sebutan orang suci Hindu) yaitu dengan menanam Panca Dhatu (lima jenis logam) pada tempat dimana Pura Besakih sekarang berdiri. Pedagingan Panca Dhatu pada Padmasana yang berukuran besar ditanam secara vertikal yaitu dasar, tengah dan puncak. Menurut Adri (1968) sebagaimana yang dikutip oleh Donder (2001 : 97-98) menyebutkan pedagingan pada Puncak bangunan seperti Meru, Padmasana dan Sanggar Agung terdiri dari : 1) Sampian emas (padma emas) atau slaka</p><p align="justify"><a href="http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Hindu&id=163506">Sumber </a><br /></p>Keluarga Besar Bhujangga Waisnawahttp://www.blogger.com/profile/10952693366980852246noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1535022042609233981.post-48607879138448846542008-09-11T23:45:00.000-07:002009-01-12T04:01:28.379-08:00Markandeya Purana<div class="detailsPageBookImageCell" style="width: 390px; text-align: center;"> <div class="detailsPageBookImage"> <a href="http://www.exoticindiaart.com/book/details/IDF435/"><img style="width: 396px; height: 417px;" src="http://images.exoticindiaart.com/books/markandeya_purana_sanskrit_text_with_english_translation_idf435.jpg" alt="Markandeya Purana: Sanskrit Text with English Translation, Notes and Index of Verses" border="2" /></a></div></div>Markandeya Purana yang terkenal adalah satu di antara delapan belas Mahapuranas. Purana ini memiliki karakter yang berbeda dari semua yang lain. It has nothing sectarial dari semangat, sedikit dari agama nada; jarang memasukkan invocations dan doa-doa kepada dewa, dan seperti yang dimasukkan singkat dan moderat. It deals sedikit di precepts, upacara atau moral. Nya adalah fitur yang naratif; dan menyajikan sebuah terganggu suksesi dari legenda, yang paling kuno adalah ketika embellished dengan keadaan baru, dan ketika baru sampai saat ini bagian dari semangat yang lama, bahwa mereka tdk memihak kreasi dari imajinasi, yang tidak tujuan tertentu, yang dirancang khusus untuk merekomendasikan tidak doktrin atau pemeliharaan.<br /><br />Purana yang dibagi menjadi lima bagian berbeda, yaitu: -- <br /><br /> 1. Bab 1-9, yang disebut oleh Jaimini ke Markandeya Burung yang bijaksana, dan mereka langsung menjelaskan kepadanya empat pertanyaan yang bingung dia dan beberapa hal-hal terhubung.<br /><br /> 2. Bab 10-41, di mana, meskipun Jaimini propounds pertanyaan lebih lanjut ke Burung dan mereka nominal mereka secara terperinci, namun sebenarnya adalah speaker Sumati, nicknamed Jada, dan ayahnya.<br /><br /> 3. Bab 42-78: disini, meskipun Jaimini dan Burung adalah nominal speaker, namun sebenarnya adalah speaker Markandeya dan murid Kraustuki.<br /><br /> 4. Bab 79-90, yang Devi-mahatmya, (popularly dikenal sebagai Durgasaptasati) interpolasi yang murni, yang sebenarnya adalah sebuah speaker RSI bernama Medhas, dan yang hanya diulang oleh Markandeya.<br /><br /> 5. Bab 91-134, Markandeya dan membawa mereka Kraustuki wacana. Pada akhirnya, di dekat sini Burung lama wacana yang disampaikan oleh Markandeya, dan Jaimini thanks mereka dan berangkat.<br /><br />Saat ini adalah edisi baru terdiri direvisi dan saat ini tersedia dengan teks Sansekerta dan terjemahan dari Pargiter. Selain itu, editor telah diberikan terjemahan sendiri di tempat-tempat yang sesuai dan diabaikan terjemahan flowless ayat yang ditemukan dalam teks tersedia Bombay edisi dan edisi lain yang tersedia.<br /><br />ISI <br />Pendahuluan iii-xvi <br />ch. 1-3 <br /><br />Jaimini diterapkan Markandeya instruksi untuk empat pertanyaan. Markandeya dia dirujuk ke empat Burung belajar, anak-anak Drona dan Apsaras Vapu yang telah dikutuk oleh RSI Durvasas menjadi burung, dan menceritakan cerita mereka lahir, dan pendidikan mereka oleh Samika, dan menjelaskan bahwa mereka empat brahmanas, yang begitu lahir, karena dikutuk oleh ayah mereka tidak Sukrsa untuk menawarkan tubuh mereka sebagai makanan untuk burung yang lapar.<br />1-10 <br />Burung dari wacana yang di Jaimini dari empat pertanyaan <br />ch. 4-9 <br /><br />Jaimini mengunjungi Burung di Vindhya Mts. dan mereka menjawab pertanyaan itu empat sehingga: - Visnu diasumsikan bentuk tubuh untuk menyelesaikan baik; Draupadi menjadi istri bersama lima Pandavas karena semua emanations dari Indra; Baladeva berkomitmen brahmanicide selama kemabukan dan expiated dengan ziarah, dan lima Visva Devas, yang pada Visvamitra melihat dari kebrutalan ke raja Hariscandra, censured Visvamitra, timbul sehingga ia mengutuk dan dilahirkan sebagai anak-anak lima Draupadi mati muda dan belum.<br /><br />Berita ini memimpin Burung di Jaimini permintaan untuk menceritakan seluruh kisah Hariscandra raja dari segala penderitaan dan kebahagiaan, dan memerangi dahsyat yang dihasilkan itu antara Vasistha dan Visvamitra sebagai raksasa burung.<br />15-51 <br />Burung yang 'wacana di Jaimini dari pertanyaan lebih lanjut <br />Wacana tentang kehidupan, kematian dan tindakan <br />ch. 10-15 <br /><br />Jaimini propounded pertanyaan lebih lanjut mengenai konsep, hidup yg berhubung dgn janin, kelahiran, pertumbuhan, kematian dan konsekuensi dari tindakan, dan Burung jawab oleh mereka yang menerima instruksi bahwa Brahman, Sumati, nick-bernama Jada, setelah memberikan kepada ayahnya (bab 10 -- 30).<br /><br />Dengan demikian, dalam memberikan Burung Jada dari kata keterangan kematian, setelah-keberadaan dan Hells tertentu; manusia konsepsi dan kelahiran, dan semua keberadaan evils; tertentu lainnya Hells dan berbagai terrible torments kenakan sana, dan mereka menceritakan cerita dari keturunan raja dari Vipascit ke neraka, dengan wacana mengenai tindakan dan hukuman yang spesifik untuk suatu daftar panjang dari berbagai dosa, dan kepada penyelamatan dari neraka bersama-sama dengan orang lain yg melahirkan di sana.<br />54-74 <br />Cerita menggambarkan agama ketaatan (yoga) <br />ch. 16-17 <br /><br />The Burung, terus Jada dari wacana, broached subyek yoga atau agama kesetiaan, tetapi prefaced dengan panjang naratif (bab 16 hingga 39). J Mandavya Brahman disimpan dari kutukan oleh para istri setia, yang dihentikan meningkatnya matahari dan keuntungan yang didapat dari Atri isteri Anasuya; para allah makanya Anasuya diberkati, dan Brahma, Visnu dan Siva dia dilahirkan sebagai anak laki-laki tiga Soma, Dattatreya dan Durvasas; Dattatreya indulged dalam kenikmatan sensual; Arjuna Kartavirya Namun, yang dianjurkan oleh para menteri Garga untuk memperdamaikan Dattatreya, karena Dattatreya (sebagai sebuah jelmaan dari Visnu) telah sekali 'menyelamatkan allah dari iblis, yang melakukannya dan berkat dari Dattatreya reigned gloriously. 106 ini dipimpin ke cerita Alarka, yang digunakan untuk menyampaikan politik, agama dan sosial instruksi (bab 17-41).<br />80-94 <br />Alarka kelahiran dan pendidikan <br />c. 18-23 <br /><br />Raja Satrujit anak Rtadhvaja tinggal di intim persahabatan dengan dua Naga raja, mereka mengatakan kepada ayah mereka Asvatara - Rtadhvaja cara yang telah succoured Brahman Galava dengan bantuan yang menakjubkan kuda bernama Kuvalaya, dan turun ke Patala, iblis yang telah membunuh Patala-Ketu sana, dan telah menikah dan rescued yang Gandharva princess Madalasa, dan terkenal sebagai Kuvalayasva, dan juga bagaimana iblis telah menyebabkan Madalasa mati pada laporan palsu Kuvalayasva kematian. Raja Asvatara, kemudian oleh propitiating Sarasvati, ikut serta keterampilan sempurna dalam puisi dan musik (yang dijelaskan), dan diterima oleh propitiating Siva Madalasa dikembalikan ke kehidupan; Kuvalayasva dia diundang ke Patala dan memberikan Madalasa kembali kepadanya. Kuvalayasva mempunyai seorang anak laki-laki oleh perempuan itu, dan dia prattled ke bayi, mereka telah tiga lainnya anak laki-laki dan ia dinamakan Alarka bungsu.<br />97-124 <br />Politik, agama dan sosial instruksi <br />ch. 24-32 <br /><br />Kemudian diikuti sebuah eksposisi politik, agama dan sosial dalam doktrin sbg instruksi yang diberikan oleh Madalasa ke Alarka. Dia diinstruksikan kepadanya di dalam melaksanakan tugas dan seorang raja, dalam tugas dari empat Castes dan seorang Brahmana hidup; dalam tugas-tugas umum dari grhastha dan berbagai urusan agama, dalam tugas-tugas yang grhastha secara rinci; dalam upacara sraddha ; dalam performa yang Parvana Sraddha dan orang yang akan dikeluarkan; di Voluntary sraddhas dan manfaat dan tepat waktu, dalam aturan Virtuous Custom, secara umum dengan lebih detail dan; tentang diet, pemurnian, melakukan, hari suci dan berbagai upacara keagamaan.<br />129-158 <br />Eksposisi agama ketaatan (Yoga) <br />ch. 33-41 <br /><br />Rtadhvaja kemudian mengundurkan diri ke Alarka kerajaannya dan berangkat ke hutan. Senang tinggal di Alarka, tetapi, yang dikurangi menjadi besar Straits oleh saudaranya dan raja Kasi, memohon bantuan dari Dattatreya. Dattatreya berbicara tentang jiwa dan, pada Alarka bertanya tentang agama dari ketaatan (yoga), expounded metode, kondisi dan tanda-tanda kinerja yang baik, yang hadir ailments dan tahapan yang mengarah pada akhir dari keberadaan emansipasi; cara yang harus yogi hidup, mengemis, dan makan sampai kepada akhir; komposisi, makna dan manfaat dari kata "Om"; omens sakit dan makna, dan musim, dan pentingnya, yoga. Alarka kemudian melepaskan kerajaan, tetapi saudaranya, senang di 'Alarka konversi, menolak dan pergi. Alarka memberikannya kepada anak laki-laki dan berangkat ke hutan. Ini berakhir Jada's eksposisi.<br />164-187 <br />Burung dari wacana yang pada pertanyaan lebih lanjut dari Jaimini <br />Wacana mengenai Penciptaan <br />ch. 42-49 <br /><br />Jaimini menaruh pertanyaan lebih lanjut, dan Burung jawab mereka Markandeya mengulangi apa yang telah diajarkan Kraustuki. Wacana ini berjalan pada akhir Purana.<br /><br />Markandeya, setelah extolling ini Purana, dijelaskan kursus penciptaan dari Brahma melalui Pradhana, dan keduniaan telur, ia discoursed tentang Brahma, dan dijelaskan Tuhan dan manusia dan waktu empat usia. Dia menggambarkan penciptaan bumi dan semua berisi; para allah, iblis, pitrs, manking, dan posisi mereka ditugaskan; asal ras manusia di jaman purba dan evolusi sosial dan moral, yang lahir dari sembilan Sages, Rudra, manu Svayambhuva dan keturunannya, dan keturunan Daksa; J-dharma dan anak, terutama Duhsaha goblin dan kekuasaan, yang memeram goblins dari hags dan diberi nama dengan fungsi tertentu; penciptaan yang Kudras, dan istri-istri dan keturunan dari rsis dan pitrs.<br />190-230 <br />Account yang Manus <br />ch. 50 <br /><br />Markandeya berikutnya discoursed dari Manus dan manvantaras. Dia memberitahu yang pertama Manu, Svayambhuva, dan keturunan yang peopled tujuh benua. Jambudvipa yang diduduki oleh Agnidhra, dan keturunan Bharata memberi namanya ke India. Ini diperkenalkan subjek geografi.<br />233 <br />Geografi <br />ch. 51-57 <br /><br />Markandeya dijelaskan bumi dan benua, terutama Jambu-dvipa; dan juga Gunung Meru, pertama sebentar, dan kemudian dengan penuh menyebutkan hutan di sekitarnya, gunung dan danau, dan pada waktu yang berbeda dalam Ganges di langit dan di bumi. Dia menyebutkan sembilan divisi dari Bharata, kemudian berurusan dengan India secara rinci; nama-nya tujuh gunung rentang dan tersebar bukit, dan sungai-sungai, mereka bedakan menurut sumber, di Himalaya, yang Paripatra, yang Vindhya, yang Rksa, yang Sahya, di Malaya, dan Mahendra di Suktimat rentang. Dia bernama berbagai bangsa inhabiting India dan confines, karena menurut mereka berdiam di Tengah Tanah (Madhya-desa), di sebelah utara-barat, di luar arah utara, di sebelah utara, di sebelah timur, di sebelah selatan, di sebelah barat, Vindhya di sekitar gunung-gunung dan di bawah Himalayas.<br /><br />Berikut mewakili Indonesia sebagai istirahat setelah Visnu dalam bentuk kura-kura, bernama Markandeya berbagai bangsa (yang sesuai dengan constellations lunar) sebagai disalurkan melalui bagian tengah tubuh kura-kura, lebih-nya wajah, dan kaki kanan bagian depan, dan kanan lambung, dan hak-hind makanan, dan ekor, dan kaki kiri tengkuk, yang terletak di samping kiri dan kaki kiri bagian depan, dan dia menambahkan beberapa Astrological, agama dan politik komentar. Dia kemudian menggambarkan negara Bhadrasva, Ketumala, di Northern Kurus, Kimpurusa, Hari-varsa, Ilavrta, Ramyaka, dan Hiranmaya.<br />236-295 <br />Account yang Manus (dilanjutkan) <br />ch. 58-77 <br /><br />Markandeya terkait kelahiran kedua Manu. J Brahman Himavat dikunjungi dan bertemu dengan seorang Apsaras Varuthini; yang Gandharva Kali oleh personating dia memperoleh kasih sayang dia dan dia seorang anak laki-laki Svarocis membosankan. Svarocis menyampaikan gadis Manorama dari kutukan dan dia menikah, dan juga rescued her girl-dua sahabat-sahabatnya dan mereka menikah, setelah lama tinggal di lalai senang dengan mereka, dia mempunyai tiga anak-anak yang didirikan pada dia terpisah oleh kerajaan yang disebut Padmini pengetahuan dan dia oleh dewi hutan lainnya yang menjadi anak Dyutimat kedua Manu, Svarocisa; dan periode yang perhatikan. Yang kiasan kepada pengetahuan Padmini wacana diperkenalkan pada pendukung, yang Nidhis.<br /><br />Terus, Markandeya terkait bagaimana raja Uttama banished his ratu untuk naik darah, dan membantu untuk menemukan sebuah Brahman itu sakit marah istri yang telah dibawa off; dia rebuked oleh RSI untuk melakukan sendiri, ia kembali dengan Brahman isteri, yang buruk tersembunyi; Brahman yang berubah sifat dia dan dia Raksasa dikembalikan ke raja Uttama; dia membosankan seorang anak laki-laki, yang menjadi yang ketiga Manu, Auttama, dan perhatikan adalah periode.<br /><br />Markandeya terkait bagaimana raja Svarastra ketika didorong dari kerajaannya, ia bertemu dengan almarhum ratu, dan seorang anak laki-laki yang telah menjadi keempat Manu, Tamasa; nya adalah bahwa periode. RSI Rtavac yang menjadikan konstelasi Revati jatuh; gadis yang lahir itu, dia menikah Durgama raja dan membosankan seorang anak laki-laki, yang menjadi kelima Manu, Raivata; nya adalah bahwa periode. Caksusa, yang berubah bila bayi oleh masygul, menjadi kingVikranta dari anak laki-laki, tetapi menjadi sebuah ascetic dan menjadi yang keenam Manu, Caksusa; nya adalah bahwa periode.<br /><br />Melanjutkan manvantaras, Markandeya kata menikah Minggu Tvastr's daughter Sanjna dan mempunyai dua anak laki-laki Vaivasvata dan Yama; Sanjna quitted dia, dia meninggalkan Shadow di belakang, karena ia telah berlebihan semarak; Tvastr pared his kemegahan bawah sementara Manu kedelapan, Savarni. Vaivasvatais yang ketujuh dan hadir Manu; nya adalah bahwa periode. Periode masa depan Sevarni dengan rsis, allah, dll, yang dinubuatkan.<br />296-358 <br />The Devi-Mahatmya <br />ch. 78-90 <br /><br />Yang menyebutkan dari Savarni memperkenalkan Devi-mahatmya. Markandeya terkait bahwa raja Suratha, yang ousted dari kerajaannya, bertemu dengan seorang Vaisya didorong dari keluarganya, dan yang kedua berkonsultasi tentang RSI longings untuk rumah mereka, yang mereka RSI ascribed perasaan dewi ke Maha-maya (Great Illusion), dan yang berhubungan dengan cara , ketika ia lauded oleh Brahma, Visnu madhu iblis yang telah membunuh dan Kaitabha.<br /><br />RSI Al Qur'an yang kemudian dia exploits. Dimulai disini dengan Devi mahatmya-benar. Iblis yang tewas di bawah Mahisa para dewa dan dewi dibentuk sebagai Candika, (Ambika) dari mereka khusus energi gabungan; dia mulai peperangan yang besar dan menghancurkan setan, iblis semua pemimpin-pemimpin dan akhirnya Mahisa sendiri. Para allah memuji dia dalam mazmur, dan dia berjanji akan selalu menolong mereka. Kembali para dewa telah tewas oleh iblis Sumbha dan Nisumbha, dan dia invoked; ia muncul, dan Sumbha dia ingin menikah tetapi ia menolak, ia telah mengirim tentara dan dia hancur itu, ia dikirim lain dengan canda dan munda; dewi Kali yang hancur Candika dan mereka memberi dia gabungan nama Camunda; Sumbha dikirim segala tentara; Candika membunuh pemimpin Raktavija, maka Nisumbha walaupun Sumbha dari bantuan, dan banyak iblis, dan akhirnya Sumbha dirinya; itu adalah alam semesta penuh dengan sukacita. Para allah memuji dia dalam mazmur dan dia berjanji akan membebaskan mereka selalu. Dia descanted pada ciri dari puisi ini. Para allah mereka regained keagungan, dan ia extolled. Disini yang berakhir Devi-mahatmya benar. Setelah mendengar puisi ini Suratha Raja Candika disembah, dan ia berjanji ia harus menjadi Manu kedelapan, Savarni.<br />359-406 <br />Account yang Manus (dilanjutkan) <br />ch. 91-97 <br /><br />Markandeya, terus, menyebutkan Manus lainnya di masa mendatang, yang kesembilan, kesepuluh, kesebelas dan kedua belas bernama Savarna, dan ketiga bernama Raucya, dan waktu. H. menceritakan cerita Raucya. J Prajapati Ruci telah mendesak oleh Pitrs untuk menikah, ia propitiated Brahma dan senang dengan Pitrs dalam mazmur, mereka muncul dan menjanjikan kepadanya seorang isteri dan extolled nya gita; sebuah Apsaras dia menikah dan memiliki anak yang akan menjadi ketigabelas Manu Raucya. Santi, yang murid seni bengkeng RSI Bhuti, mencari suci api extinguished, ditawarkan ke bertasbihlah Agni. Agni dikembalikan api dan berjanji untuk Bhiiti anak yang harus dia yang keempatbelas Manu, Bhautya. Bhautya dari zaman apa adanya. Account ini dari manvantaras adalah extolled.<br />407-426 <br />Permulaan dari Genealogies <br />ch. 98 <br /><br />Pada Kraustuki permintaan Markandeya memulai genealogies. Brahma menciptakan Daksa, yang datang dari Martanda, Sun. Kemudian menyebutkan bahwa Brahma lahir dari keduniaan telur, dan menghasilkan lokas (dunia), dan selanjutnya empat Vedas dengan ciri - Markandeya diverged menjadi puji-pujian dari Minggu<br />430 <br />Yang keagungan dari Sun <br />ch. 99-107 <br /><br />Para dewa dan Vedas yang dinyatakan sebagai manifestasi dari Sun. Matahari bangga pada pertama terlalu besar, dan bertasbihlah dengan Brahma dia dipaksa untuk kontrak dan kemudian selesai penciptaan. Marici putra Kasyapa Begot para allah, iblis, manusia, dll yang berhasil iblis dan para allah Aditi dicari bantuan Sun dalam mazmur. Ia menjadi anaknya sebagai Martnda dan menghancurkan iblis. Cerita Sun dan isterinya Sanjna (seperti yang dikatakan dalam bab 74 dan 75) adalah kembali kepada disini dengan lebih detail mengenai Shadow-Sanjna, kutukan pada Yama, di bawah kulit dari Sun keindahan, yang ditawarkan kepada hymns Minggu, dan Minggu dari keturunan dan stasiun dialokasikan mereka.<br /><br />Markandeya yang lebih terkait Rajya-raja vardhana bila lama terselesaikan diri ke kerajaan, tetapi umat-Nya dalam kesedihan propitiated Sun, dan Minggu diberikan kepadanya sangat panjang kehidupan; raja juga memperoleh keuntungan yang sama untuk mereka. Cerita ini adalah extolled.<br />432-455 <br />Dilanjutkan dengan Genealogies <br />ch. 108-133 <br /><br />Manu Markandeya disebutkan Vaivasvata dari tujuh anak laki-laki dan Ila-Sudyumna, Pururavas, dll Manu anak yang dibunuh Pusadhra Brahman dari sapi dan menjadi terkutuk menjadi sudra. Karusa dari keturunan yang disebutkan. Dista anak Nabhaga menikah vaisya gadis yang disengaja dan menjadi vaisya; anak laki-lakinya Bhanandana menaklukkan bumi, tetapi Nabhaga ditolak untuk memerintah. Kemudian Nabhaga istri menjelaskan bahwa ia tidak benar-benar sebuah janji pemulihan, dan bahwa ia adalah seorang princess dan telah menjadi vaisya di bawah Agastya dari kutukan.<br /><br />Bhanandana menjadi raja. Anaknya Vatsapri rescued a princess Sunanda dari Patala setelah membunuh seorang raja iblis yang mempunyai magic klub dan dia menikah. Anaknya telah Pramsu dan Pransu anak Prajati. Prajati adalah putra Khanitra dermawan; saudaranya dari menteri sihir dilakukan untuk menurunkan dr takhta namun dia sendiri hancur; Khanitra diri kerajaan dalam kesedihan dan pergi ke hutan. Anaknya Ksupa dilakukan korban untuk panen. Anaknya itu dan Vira grandsom Yivimsa. Vivimsa anak Khaninetra saat bertemu dua berburu rusa empik akan dikorbankan oleh Indra dan nikmat yang diperoleh anak Balasva. Balasva disebut Karandhama karena kemenangan yang fantastis.<br /><br />Aviksit anaknya laki-laki dan dibawa princesses off princess Vaisaini dalam pidato svayamvara; pelamar yang menaklukkan raja-raja dan menangkap dia, tetapi ia menolak mereka semua; Karandhama rescued Aviksit, tetapi Aviksit menolak untuk menikah dengan princess setelah penggagalan; ia beralih ke austerities dan mendapatkan sebuah jaminan dari allah: Aviksit ibu oleh perdayaan memperoleh janji dari dia untuk memperanakkan seorang anak laki-laki: saat berburu ia rescued the princess dari iblis dan senang para allah: membuktikan dia menjadi Gandharvamaiden dan Aviksit menikah dia Gandharva di dunia; Dia seorang anak laki-laki Marutta membosankan ada Aviksit kembali kerajaan tetapi menolak karena dia kebingungan. Marutta menjadi raja, dan 653 universal raja, sacrificer yang besar, dan liberal ke brahmans dermawan. Nagas yang memberi masalah besar, dan ia menyerang mereka, tetapi Aviksit interposed demi yang Nagas; peperangan telah averted oleh rsis dan Nagas dibuat rugi. Marutta istri yang bernama.<br /><br />Anaknya Narisyanta kaya yang brahmans secara permanen pada korban yang besar. Anaknya Dama telah dipilih oleh Dasarna princess, penuntut dan raja-raja yang dikalahkan, yang melanggar undang-undang perkawinan, menentang dia. Dama menjadi raja. Narisyanta telah dibunuh di hutan Vapusmat oleh salah satu raja-raja mereka. Dama bewailed, bernazar dan balas dendam terhadap pembunuh; dia membunuh Vapusmat dan merayakan upacara pemakaman ayahnya dengan Vapusmat dari daging dan darah.<br />459-534 <br />Kesimpulan <br />ch. 134 <br /><br />Burung yang ditutup mereka panjang pengulangan dari Markandeya instruksi ke Kraustuki, dengan encomium pada Puranas dan Purana ini pada khususnya. Jaimini terima kasih mereka.<a href="http://www.exoticindiaart.com/book/details/IDF435/"></a>Keluarga Besar Bhujangga Waisnawahttp://www.blogger.com/profile/10952693366980852246noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1535022042609233981.post-40371818406942825082008-09-11T23:38:00.000-07:002008-09-11T23:43:32.864-07:00Rsi Markandeya<span style="font-size:85%;"><span style="font-family:Verdana,Arial,Helvetica,sans-serif;"><strong></strong><br />Masa sejarah Bali dapat dilihat kembali berawal dari abad ke 8 masehi, pada saat Rsi Markandeya menginjakkan kakinya di Pulau Bali ini. Rsi Markandeya adalah seorang pendeta Hindu Siwa Tattwa yang merupakan aliran yang diyakini oleh mayoritas masyarakat India pada saat itu terutama di tempat asal beliau yaitu di India Selatan.<br />Dalam catatan perjalannya (Markandeya Purana), dapat diketahui bahwa Rsi Markandeya pertama kali menetap di Gunung Dieng yang termasuk Kerajaan Mataram Kuno (Jawa Tengah) yang pada saat itu di bawah pemerintahan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu melanjutkan pemerintahan Wangsa Syailendra yang beragama Buddha.<br />Kemungkinan pada masa itu terjadi suatu peristiwa (alam) yang luar biasa yang memaksa pusat kerajaan Mataram ini di pindah ke wilayah Jawa Timur sekarang, ada dugaan kuat pada masa tersebut terjadi letusan Gunung Merapi yang sekaligus juga menimbun candi Borobudur dan juga candi Prambanan. Rsi Markandeya juga berpindah ke arah timur, mengikuti pergerakan penganut agama Hindu ke arah Jawa Timur yang kelak membentuk Kerajaan Medang Kemulan yang didirikan oleh Mpu Sendok.<br />Setelah beberapa saat bemukim di Gunung Rawang, sekarang dikenal sebagai Gunung Raung (Jawa Timur), Rsi Markandeya kemudian tertarik untuk melanjutkan perjalannya ke timur.<br />Pada masa itu Pulau Bali belum dikenal sesuai namanya sekarang. Pulau ini masih belum banyak diketahui, sebagian pelaut mengira Pulau Bali merupakan sebuah pulau yang memanjang yang menyatu dengan apa yang kita kenal sekarang sebagai Kepulauan Nusa Tenggara. Jadi pada masa itu Pulau Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara dianggap merupakan sebuah pulau yang sangat panjang yang disebut dalam Markandeya Purana sebagai Nusa Dawa/Pulau Panjang.<br />Pada saat kedatangannya yang pertama dengan menyeberang Segara Rupek (selat Bali) Rsi Markandeya setelah tiba di Bali, misi beliau mengalami kegagalan dimana sebagian besar pengikutnya mengalami kematian ataupun sakit secara misterius. Beliau merasakan aura misterius yang sangat kuat menguasai pulau ini sehingga dia kemudian memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung dan bermeditasi/puja wali untuk meminta petunjuk agar bisa selamat dalam perjalanan ke Bali berikutnya.<br />Dalam kunjungannya yang kedua, berdasarkan hasil dari meditasinya, Rsi Markandeya beserta pengikutnya sepakat untuk pertama-tama melakukan upacara suci /Pecaruan untuk keselamatan mereka selama berada di Bali. Beliau memutuskan untuk mengadakan upacara suci tersebut ditempat yang tertinggi di pulau ini yang juga diyakini sebagai tempat yang paling keramat. Mereka kemudian mendaki Gunung Agung yang pada saat itu dikenal dengan nama Toh Langkir. Di kaki gunung itu mereka mengadakan upacara suci yang aktifitas utamanya berupa penanaman Panca Datu, 5 unsur logam yang dianggap paling penting pada masa itu (emas, perak, perunggu, tembaga dan besi).<br />Pada saat berada di ketinggian Toh Langkir tersebut Rsi Markandeya menyadari bahwa ternyata Pulau Bali hanya pulau kecil sehingga beliau menganggap bahwa nama Pulau Panjang kurang tepat dan menggantinya dengan nama Pulau Bali. Kata Bali sendiri berasal dari bahasa Palawa yang berkembang di India selatan. Bali kurang lebih berarti persembahan, mengingat untuk mendapatkan keselamatan Rsi Markandeya harus mengaturkan persembahyangan/upacara suci terlebih dahulu dalam perkembangan selanjutnya Bali kurang lebih sama artinya dengan Banten pada masa sekarang ini.<br /> </span></span><span style="font-size:85%;"><span style="font-family:Verdana,Arial,Helvetica,sans-serif;"> Dalam perkembangan selanjutnya Rsi Markandeya memutuskan untuk menetap di </span>Bali<span style="font-family:Verdana,Arial,Helvetica,sans-serif;"> dan menyebarkan agama Hindu. Beliau dan pengikutnya kemudian membuka Hutan Taro dan bermukim di tempat yang sekarang di kenal sebagai Desa Taro yang dianggap sebagai desa tertua di Pulau </span>Bali<span style="font-family:Verdana,Arial,Helvetica,sans-serif;">. Di desa tersebut beliau mendirikan Pura Murwa (permulaan) sebagai pura pertama di </span>Bali<span style="font-family:Verdana,Arial,Helvetica,sans-serif;">. Selanjutnya beliau mengembangkan daerah Toh Langkir menjadi areal pura (tempat suci) yang dianggap sebagai Pura Utama di Bali. Pura lainnya yang erat kaitannya dengan Rsi Markandeya adalah Pura Silawanayangsari di Gunung Lempuyang. Beliau juga mendirikan asrama di Pura Lempuyang tersebut dan di sini beliau dikenal sebagai Bhatara Gnijaya Sakti.</span></span><span style="font-size:85%;"><span style="font-family:Verdana,Arial,Helvetica,sans-serif;"> Pada saat sekarang ini dimana masyarakat Bali ingin menelusuri silsilah keluarga mereka - menemukan kawitan mereka, Bhatara Gnijaya, dalam hal ini Rsi Markandeya, dianggap merupakan leluhur dari Klan/Warga Pasek dan menganggap bahwa Pura Lempuyang Madya merupakan kawitan utama dari warga Pasek.<br />Dari tinjauan sejarah tidak banyak peninggalan tertulis dari Resi Markandeya selain dari pda Lontar Markandeya Purana tersebut dan pura-pura peninggalan beliau. </span></span><span style=";font-family:Verdana,Arial,Helvetica,sans-serif;font-size:85%;" > </span><span style="font-size:85%;"><br /></span>Keluarga Besar Bhujangga Waisnawahttp://www.blogger.com/profile/10952693366980852246noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1535022042609233981.post-18623886932008452572008-09-11T23:36:00.001-07:002008-09-11T23:37:46.456-07:00Napak Tilas Jejak Spiritual Rsi Markandeya<span style="font-family:Arial;"><span style=";font-size:85%;color:black;" ><br />Sebanyak 150 orang umat Hindu turut mengikuti perjalanan suci ke Gunung Raung-Jawa Timur yang berangkat pada 13 Oktober 2007. Tirthayatra ini merupakan rangkaian dari beberapa kegiatan Pashraman Agung Griya Mas, Tumbak Bayuh, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali yang diasuh Ida Rsi Hari Dantam. Sebelumnya kegiatan pasraman ini telah berlangsung sejak 6 bulan yang lalu, tepatnya diresmikan 27 April 2007.<br /><br />Pasraman pamangku ini diikuti oleh 44 peserta dan 18 peserta dinyatakan lulus dan dianggap mampu menjalankan sasana sebagai seorang pamangku dan serati banten. Mereka terdiri dari 12 pamangku dan 6 orang srati berhak mendapatkan sertifikat kelulusan yang dibagikan langsung di Pura Gunung Raung. Sedangkan sisanya sebanyak 22 orang dinyatakan belum lulus.<br /><br />Seleksi kelulusan ini sengaja di lakukan secara ketat dengan tujuan agar pasraman ini benar-benar menghasilkan pinandita dan penyerati yang berkualitas. Paham akan tattwa, susila dan etika yang ke depannya mampu melayani umat Hindu dalam peningkatan srada dan bhakti umat. Namun pasraman kali ini tak hanya diperuntukkan bagi pinandita, namun diikuti pula oleh dua sulinggih.<br /><br />Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang rombongan tiba dan langsung melakukan persembahyangan. Persembahyangan pertama dilakukan di Pura Giri Mulya-Bumiharjo Glenmore, Banyuwangi. Yang dilanjutkan menuju Pura Gunung Raung. Kurang lebih menempuh jalan kaki sejauh 1 Km menelusuri permukiman penduduk yang sangat alami, hingga para peserta tirthayatra akhirnya sampai di Candi Agung Gumuk Kancil. Candi Agung Gumuk Kancil ini merupakan petilasan terakhir Maha Rsi Markandeya sebelum melakukan perjalanan ke Bali.<br /><br />Menurut Ida Rsi Hari Dantam, tirthayatra ini dibagi menjadi tiga prosesi yakni, pengelukatan, pewintenan dan penyerahan sertifikat. Peserta tirthayatra, sebelum melakukan persembahyangan dan pewintenan semua terlebih dahulu dilukat di Beji Pura Gunung Raung. Vibrasi kesucian beji sangat terasa, karena didukung oleh alam di sekitar yang masih asri. Pepohonan yang sangat hijau dialiri oleh sumber mata air yang sangat jernih dan dingin dapat menciptakan rasa segar, jiwa dan raga segar pikiran pun menjadi suci.<br /><br />Di tengah rintik hujan yang sudah mulai turun sejak sore hari, para peserta mulai melakukan pesembahyangan bersama di Candi Agung Gumuk Kancil dengan dipimpin langsung oleh Ida Hari Anom Palguna dari Griya Batur Tegal Cangkring Jembrana dan didampingi oleh empat belas Rsi yang ada di Bali, yakni Ida Rsi Hari Dantam dari Grya Mas Tumbak Bayuh, Mengwi Badung, Ida Rsi Waisnawa-Griya Taman Wangining Temukus Buleleng, Ida Rsi Dwija Santa-Griya Sandhi Manikmas Kramas Gianyar dan Ida Rsi Esti Guru – Griya Anyar Sari Sembung Badung. Turut pula Ida Rsi Putri Laksmi-Griya Daha Desa Beda Tabanan, Ida Rsi Istri Ganda Wati-Griya Taman Suria Desa Karang Suwung Tabanan, Ida Rsi Istri Kertijaya-Griya Sidi Mantra Sangsit Buleleng, Ida Rsi Istri Oka-Griya Pejaten Desa Pejaten Tabanan.<br /><br />Dalam kegelapan karena keterbatasan penerangan dan hujan turun, prosesi pawintenan pun berlangsung. Menurut Ida Rsi Hari Anom Palguna, pewintenan ini dilakukan dua tingkatan. Yang pertama adalah ada para pemangku yang sudang ngagemin kepamangkuan di parahayangan-parahyangan dari keturunan Bujangga Waisnawa yang ingin mendapat penugrahan memohon di parahyangan Candi Agung Gumuk Kancil. Ini karena diyakini merupakan tempat di mana Ida Rsi Markandeya melihat sinar terang di timur, tepatnya di Besakih-Bali. Dan yang kedua adalah ada sisya-sisya dari Griya Tumbak Bayuh yang memang merencanakan ada yang mau menjadi pamangku di salah satu parahyangan atau merajan agung. Mereka inilah mohon pewintenan secara kolektif dan ada yang menjadi tukang banten juga turut memohon penugrahan dengan upacara mekalaias. Upacara banten yang digunakan dalam pewintenan ini sangat sederhana banten pewintenan suci dan nasi catur yang sesuai dengan petunjuk sastra warisan leluhur.<br /><br />Menurut Ida Rsi Hari Dantam, terpilihnya Gunung Raung sebagai tujuan tirthayatra dan pewintenan karena menurut sejarahnya, Ida Rsi Markandeya yang ada di Besakih datangnya dari Gunung Raung berawal dari Dieng. Selanjutnya dari Dieng langsung ke Gunung Raung untuk bersemadi, hingga ia mendapat petunjuk untuk mencari sinar di timur Gunung Agung yang namanya Tolangkir. Dalam penelusuran dari Gunung Raung menuju Gunung Agung disertai oleh 800 orang pengikut. Namun sesampainya di Tolangkir pengikut-pengikut beliau banyak yang jatuh sakit dan bahkan meninggal dan yang tersisa akhirnya kembali ke Gunung Raung dan bersemedi. Dalam semadinya beliau mendapat pewisik bahwa kurang sarana di Tolangkir. Kemudian Maha Rsi Markandeya kembali ke Tolangkir dengan diiringi oleh Bali Age sebanyak 400 orang lalu menanam Panca Datu lengkap dengan sarana-sarananya. Baru kemudian merabas hutan dan selamat semua anak buah Rsi Markandeya dan mulai tersebar pengikut beliau ke seluruh Bali. Maka berdasar sejarah tersebut Pasraman Agung Griya Mas Tumbak Bayuh mencari Kawitan. Karena sebagai waris dari Ida Rsi Markandeya yaitu Pujangga Waisnawa tujuannya adalah mewinten.<br /><br /> <b>Pasraman Agung Mas Tumbak Bayuh</b><br /><br />Semakin hari semakin beratlah tantangan umat Hindu ke depan. Ini di akibatkan oleh gencarnya pengaruh global yang mengedepankan intelektual dan ilmu pengetahuan. Sebenarnya menghadapi tantangan ini umat Hindu seharusnya tidaklah kaget bahkan kelabakan. Mengingat sejarah menyebutkan dalam perkembangannya umat Hindu sudah dibekali pengetahuan sejati yang terangkum dalam kitab suci yakni Weda. Salah satunya adalah pendidikan yang menggunakan konsep pasraman. Memang diakui bahwa pusat pelatihan ini terlupakan seiring dengan pendirian sekolah-sekolah yang berbasis formal. Bertolak dari kenyataan ini, maka pada suatu hari berawal pertemuan delapan Ida Bhujangga Rsi dengan keluarga Bhujangga Waisnawa-Batan Getas Bedugul 11-12 Maret 2007. Dalam pertemuan tersebut diputuskan bahwa griya berkewajiban memberikan pendidikan, pelatihan dan penataran terhadap umat Hindu, terutama para pemangku dan serati (tukang banten). Dengan Pasraman dipandang dapat memberikan pendidikan pada para pinandita maupun pandita supaya mampu melayani masyarakat lebih baik. Karena di tengah umat yang semakin melek, para pemangku dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan yang lebih komprehensif mengenai hubungan antara tattwa, susila dan upakara, agar mampu menjadi teladan umat.<br /><br />Berdasarkan pertemuan tersebut kini telah didirikan pusat pendidikan agama Hindu Pasraman Agung di Griya Mas, Banjar Pempatan, Tumbak Bayuh, Mengwi, Badung, yang diresmikan Jumat 27 April 2007. Pasraman ini diresmikan Ida Rsi Hari Dantam. Pada peresmian tersebut hadir pula lima sulinggih Ida Bhujangga Rsi, yakni Ida Bhujangga Rsi Istri Putri Laksmi, Ida Bhujangga Rsi Gandawati, Ida Bhujangga Rsi Dwija Santa, Ida Bhujangga Rsi Esti Guru, dan Ida Bhujangga Rsi Hari Anom Palguna untuk memberi dukungan.<br /><br />Menurut Ida Rsi Hari Dantam bahwa pasraman ini didirikan dalam rangka lebih meningkatkan srada-bakti umat Hindu. Melalui kegiatan pasraman ini umat diharapkan mampu meningkatkan kesucian, baik lahir maupun batin. ”Pendirian pasraman ini merupakan bentuk keterpanggilan kami dalam memberikan tuntunan agama kepada umat. Melalui pasraman ini kami harapkan umat dapat memperdalam ajaran agama dan meningkatkan kesucian,” katanya, didampingi pengurus lainnya, Putu Gde Artha Negara dan Guru Ketut Putra Kemara.<br /><br />Ada beberapa materi yang disampaikan selama pasraman berlangsung, di antaranya mengenai dasar-dasar kepemangkuan, dasar-dasar kesulinggihan, kidung, kekawin, macapat, Itihasa dan suksmaning banten dan cara membuatnya. Ditambahkan pula, bahwa pasraman ini terbuka untuk umum. Terbukti peserta pasraman datang dari berbagai daerah di Bali dan tidak hanya terbatas pada pemangku, namun ada pula sulinggih yang mengikuti pasraman ini. Mereka yang ingin menguasai materi dasar-dasar kepemangkuan misalnya, nantinya setelah berhasil akan diberikan tanda bukti berupa sertifikat. Sampai saat ini, untuk tahap pertama sudah ada sekitar 30 orang yang mengikuti kegiatan pasraman. Namun, kesempatan masih terbuka bagi siswa (sisya) yang ingin mengikutinya. Para instrukturnya dari Ida Rsi dan para ahli di bidangnya.<br /><br /><a href="http://okanila.brinkster.net/raditya/Radityafull.asp?ID=136">Sumber </a><br /></span></span>Keluarga Besar Bhujangga Waisnawahttp://www.blogger.com/profile/10952693366980852246noreply@blogger.com0